Oleh: Khaziyah Naflah
“Orang bilang tanah kita tanah surga”
“Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”
Penggalan lirik “kolam susu” dari Koes Plus di atas bisa menggambarkan betapa subur dan kayanya negeri ini, bahkan di mata dunia Indonesia di kenal sebagai “Negara Agraris” dan “Negara Maritim” dimana hal tersebut membuktikan bahwa Indonesia memiliki SDA yang melimpah ruah.
Namun saat ini kita melihat bahwa kekayaan alam tersebut seolah tidak dinikmati oleh rakyatnya dan negara seakan berlepas tangung jawab untuk memenuhi kebutuhan rakyat secara keseluruhan.
Hal tersebut semakin terlihat nyata di saat banyak rakyat yang rela mengantri dan berdesak-desakan menukar kupon belanja mereka guna mendapatkan sembako murah di pasar murah yang diadakan oleh pemerintah daerah menjelang Idhul Adha kemarin.
Sebagimana terjadi di daerah Kecamatan Konawe, Sulawesi Tenggara. Warga membanjiri pasar murah yang diadakan oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Konawe di kantornya, Senin (4/7/2022).
Warga dari berbagai wilayah di Kabupaten Konawe begitu antusias mengantri untuk menukarkan kupon belanja mereka.
Salah satu pengunjung bernama Winda, warga Kelurahan Konawe, Kecamatan Konawe mengaku, rela mengantri pasar murah Kadin agar bisa mendapatkan sembako murah, sebab selisih harga sembako lumayan jauh daripada di toko-toko.
Ketua umum Kadin Konawe, Yusran Akbar ST menjelaskan, kegiatan pasar murah ini merupakan bagian dari program Kadin Konawe dalam memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan sembako murah jelang Hari Raya Idul Adha 1443 Hijriyah (indosultra.com, 4/7/2022).
Jika dilihat hal tersebut seakan kontradiktif dengan julukan dunia kepada Indonesia sebagai negeri yang subur dan kaya, dimana rakyat harus berdesakan untuk mendapatkan sembako murah, bahkan tidak bisa mendapatkannya setiap hari, padahal negeri kita penghasil berbagai kebutuhan pokok, misalkan minyak, beras, gula, garam dan lain-lain.
Hal ini akibat sistem tata kelola kapitalistik yang bersandar pada materi semata. Sistem kapitalisme telah menjauhkan peran negara sebagai periayah rakyatnya. Alhasil kekayaan negeri yang harusnya bisa dinikmati dan didapatkan oleh rakyat dengan mudah, justru hanya dinikmati oleh segelintir orang dan para korporasi.
Padahal harusnya negara bertanggung jawab mengurusi urusan rakyatnya, sebagaimana sabda Rasulullah, SAW. “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Namun dalam sistem kapitalisme yang bercokol di negeri ini, “jauh panggang dari api”. Negara yang harusnya memiliki kewajiban untuk bertanggungjawab dalam pemenuhan rakyatnya, justru hanya berfungsi sebagai regulator semata.
Dalam sistem ekonomi kapitalis, negara juga tidak boleh ikut campur dalam urusan perekonomian. Sehingga, tata kelola perekonomian dimainkan oleh para korporasi dan segelintir orang, mulai dari produksi, distribusi, permainan harga dan lainnya.
Alhasil rakyat akan menjadi korban dengan permainan-permainan yang hanya berlandaskan materi semata. Selain itu fungsi pengawasan pasar pun tidak dilakukan, akibatnya banyak oknum-oknum yang bermain di dalamnya. Hingga harga melambung tinggi sampai tidak terjangkau oleh rakyat kecil.
Tak hanya itu, pendistribusian pangan yang tidak merata pun menjadi persoalan di dalam negeri ini. Banyak warga pelosok yang tidak mendapatkan pasokan pangan tersebut, walaupun mereka mendapatkannya pun harus dengan harga yang mahal.
Padahal pangan adalah salah satu kebutuhan pokok masyarakat yang harusnya dipenuhi oleh negara dengan murah dan mudah terjangkau. Inilah potret buram pengurusan rakyat dalam sistem kapitalisme. Rakyat hanya menjadi tumbal-tumbal penguasa dalam penerapan kebijakan mereka. Sungguh miris.
Oleh karena itu, sudah saatnya rakyat sadar dan kembali pada tatanan kehidupan yang dicontohkan oleh Rasulullah. Di mana, tatanan tersebut mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, baik muslim maupun non muslim selama kurang lebih 13 abad. Tatanan itu tidak lain adalah sistem Islam.
Discussion about this post