Pertama, laut tidak perlu dikeruk pada kedalaman tertentu. Karena tidak akan terjadi pendangkalan. Kedua, sedimentasi tidak mesti dikeruk, sebaiknya ditanami mangrove dan kayu-kayu lainnya.
Pembelokan makna kerusakan itu terjadi secara sistematis bahwa pengerukan, penghisapan dan ekspor pasir laut adalah upaya menjaga kesehatan laut. Argumentasi paling bertentangan dengan doktrin lingkungan.
Green Peace Indonesia (2023) menyebut pemerintah melakukan green washing lewat Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Pemerintah bernarasi, seakan kedepankan semangat pemulihan lingkungan dan keberlanjutan, tetapi nyatanya malah gelar karpet merah bagi kepentingan bisnis dan oligarki.
Terbitan izin ekspor pasir laut PP 26/2023 berlawanan dengan pelarangan selama 20 tahun lalu sejak masa pemerintahan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri melalui Kepmenperin Nomor 117 Tahun 2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
Semangat pelarangan tersebut, mencegah tenggelamnya pulau-pulau kecil. Masalahnya, kajian-kajian lingkungan belum selesai dibereskan, tetapi PP 26/2023 sudah diterbitkan.
Alasan paling irasional adalah legalkan ekspor pasir laut mencegah ilegal. Cara mitigasinya salah, mestinya tangkap dan proses hukum semua pengusaha yang mengeruk pasir laut tanpa izin. Dugaannya, pemerintah dan oligarki bekerjasama melakukan kejahatan pengerukan, penghisapan dan ekspor pasir laut. Walaupun sudah dilarang.
Logikanya, benih lobster yang sekecil apapun dapat diidentifikasi kalau oknum pengusaha lakukan penyelundupan. Lha, ini pasir laut, tentu pengerukan memakai kapal, menghisap dan ekspor melalui jalur laut ke Singapore. Masa tidak tau?.
Discussion about this post