Menurut Aliwuna, dasar hukum terkait pasangan calon tunggal dalam pilkada awalnya diatur melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 100/PUU-XII/2015. Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa penetapan satu pasangan calon kepala daerah adalah sah.
Putusan ini kemudian diperkuat dalam Pasal 54C Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU.
“Jangan kemudian gagal mendapatkan dukungan partai, lalu membangun narasi seolah-olah paslon tunggal itu merusak demokrasi,” timpal Aliwuna.
Pria yang karib disapa Sakti ini memaparkan, pilkada dengan satu pasangan calon dilaksanakan dengan tetap memberi kesempatan kepada pemilih untuk menyatakan “setuju” atau “tidak setuju”. Di mana, dalam surat suara akan ada satu kotak kosong di samping gambar pasangan calon.
“Artinya, pemilih tetap diberi keleluasaan untuk menentukan pilihannya. Kalau setuju dengan pasangan calon tunggal pasti memilih gambar paslon. Kalau tidak setuju, berarti memilih kolom yang kosong itu,” terang Sakti.
Dalam Pilkada, fenomena pasangan calon tunggal bukan merupakan hal baru. Dikutip dari situs Bawaslu RI, pada Pilkada 2015 ada tiga calon tunggal, lalu Pilkada 2017 bertambah menjadi sembilan calon tunggal, kemudian dalam Pilkada 2018 bertambah menjadi 16 calon tunggal, dan Pilkada 2020 naik menjadi 25 calon tunggal.
Discussion about this post