Pertama, bahwa urusan penertiban baliho Ganjar-Mahfud atas perintah Pj. Gubernur Bali sebaiknya diurus DPD PDIP Bali dan Anggota DPRD Bali. Terlalu besar energi yang dikeluarkan oleh DPP PDIP dan Anggota DPR RI untuk mengurusi baliho.
Kedua, bahwa sebagai partai politik yang lahir di masa orde baru, PDIP seharusnya sudah matang menghadapi apapun, apalagi soal baliho diturunkan, itu perkara kecil. Maka elit PDIP tidak perlu reaktif.
Ketiga, bahwa PDIP harus menjadi pelopor dari kampanye positif dengan mematuhi seluruh aturan pemasangan alat peraga dan bahan kampanye. Tidak perlu memasang alat peraga dan bahan kampanye di lokasi yang mengganggu kepentingan publik.
Keempat, bahwa kemenangan dalam Pemilu tidak ditentukan oleh jumlah baliho dan reaksi terhadap baliho yang ditertibkan. Ganjar-Mahfud akan memenangi Pilpres, jika PDIP mampu meyakinkan rakyat bahwa Ganjar-Mahfud sebagai pasangan calon orang biasa, bukan anak, menantu, cucu presiden, bukan cucu pahlawan nasional. Hanya pasangan calon orang biasa yang mampu memahami kebutuhan dan kepentingan orang biasa.
Kelima, bahwa Pj. Gubernur Bali tidak memiliki kewenangan menertibkan baliho di lokasi yang bukan kewenangannya. Pj. Gubernur Bali hanya dapat menertibkan baliho di jalan provinsi atau di lokasi yang merupakan kewenangan provinsi. Penertiban baliho menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Maka reaksi berlebihan Pj. Gubernur Bali sebagai respon atas arahan Presiden Jokowi untuk tidak miring akhirnya diekspresikan kepada baliho.
Keenam, bahwa penertiban baliho Mahfud-Ganjar atas perintah Pj Gubernur melalui satuan polisi pamong praja dibantu aparat TNI dan Polri adalah bentuk arogansi. Tindakan tersebut sebagai bagian dari abuse of power. Pemerintah provinsi Bali tidak memiliki kewenangan penertiban baliho atau alat peraga kampanye lainnya.
Discussion about this post