Kelima, bahwa Pj. Gubernur Bali tidak memiliki kewenangan menertibkan baliho di lokasi yang bukan kewenangannya. Pj. Gubernur Bali hanya dapat menertibkan baliho di jalan provinsi atau di lokasi yang merupakan kewenangan provinsi. Penertiban baliho menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Maka reaksi berlebihan Pj. Gubernur Bali sebagai respon atas arahan Presiden Jokowi untuk tidak miring akhirnya diekspresikan kepada baliho.
Keenam, bahwa penertiban baliho Mahfud-Ganjar atas perintah Pj Gubernur melalui satuan polisi pamong praja dibantu aparat TNI dan Polri adalah bentuk arogansi. Tindakan tersebut sebagai bagian dari abuse of power. Pemerintah provinsi Bali tidak memiliki kewenangan penertiban baliho atau alat peraga kampanye lainnya.
Jika Jokowi terganggu dengan baliho tersebut, maka Pj. Gubernur dapat memerintahkan Kasatpol PP Bali melakukan koordinasi dengan Pemkab. Gianyar untuk dikoordinasikan dengan PDIP, Tim Pemenangan Daerah, maupun relawan.
Ketujuh, bahwa PDIP perlu marah untuk kebutuhan dan kepentingan rakyat seperti tingginya harga beras, maraknya peredaran narkoba, maraknya penyalahgunaan gas, pupuk, dan semua jenis subsidi. PDIP tidak perlu marah hanya karena baliho diturunkan.
Kedelapan, bahwa aksi cari muka Pj. Gubernur kepada Jokowi menimbulkan kegaduhan politik, maka diminta kepada Presiden Joko Widodo segera mencopot Pj. Gubernur Bali. Bertindak diluar kewenangan dengan menggunakan alat negara adalah tindakan abuse of power.
PDIP seharusnya tidak perlu marah karena baliho Ganjar-Mahfud ditertibkan. Namun PDIP perlu marah untuk setiap tindakan penguasa yang melakukan abuse of power. PDIP harus meyakini bahwa Ganjar-Mahfud pasti akan menang meski semua balihonya ditertibkan. Dari peristiwa penertiban baliho di Bali, PDIP dapat memperkenalkan tagar:
#takutbalihoganjarmahfud
#turunkanbalihoganjarmahfud
#ganjarmahfudmenangtanpabaliho.(***)
Penulis adalah Kader PDIP, Presidium GaMa Centre
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post