“Seorang juri harus mampu memaparkan dan berargumentasi tentang defenisi sebuah film yang baik atau buruk. Dan pada akhirnya, bisa menyimpulkan definisi itu sangat dinamis dan berspektrum!,” kata Susi.
Susi menambahkan, berdebat dan mengadu argumentasi dalam menilai film sangat bagus dan harus menjadi tradisi yang dipertahankan dalam penyelenggaraan FFWI.
Dalam beradu argumen itu, kata Susi, harus dilandaskan pada pengetahuan film yang mumpuni, meski tidak sempurna. Karena dalam menilai film, setiap orang memiliki sudut pandang sendiri, tetapi mempunyai alasan yang secara teknis bisa diterima.
Bagi Susi yang tak kalah penting, seorang juri wajib mengetahui budaya dan adab suatu daerah atau komunitas. Meski itupun tidak harus ahli. Olehnya itu, Susi mengingatkan, penempatan soal budaya ini terlihat kuat dalam film-film Korea maupun Hollywood.
“Film mereka sukses terletak pada apa sih? Saya kira terletak pada kultur yang membungkusnya, ada bahasa, ada gerak, ada musik. Sehingga sebenarnya, membaca film adalah membaca budaya!,” terang Susi.
Sementara itu, Rita Sri Hastuti wartawan senior anggota LSF, menyebut harus disepakati bersama, penilaian sebuah film jangan hanya dari rasa saja.
Rita menguraikan, kalau di genre drama, apakah cerita bisa menyentuh keharuan? Tetapi keharuan itu bukan cengeng. Lantas untuk genre laga, action dan horor adegan dan cerita dilihat masuk akal atau tidak.
“Semua itu bisa jadi bahan penilaian yang didiskusikan bersama,” ujarnya.
Di bawah koordinasi Kemendikbudristek panitia FFWI 2023 sudah mulai bekerja dengan menyusun daftar film-film yang tayang di bioskop dan OTT mulai 1 Oktober 2022-30 September 2023.
Editor: Ridho Achmed
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post