Alasan Daniel, karena keseharian pekerjaan mereka adalah mengikuti dan menuliskan produksi dan sering menonton film. Sebagai juri terpilih, Daniel menyebut mereka wajib memiliki pengetahun wawasan dan referensi film yang luas soal film, memiliki pengetahuan tentang teknis film, dan tak kalah penting adalah rajin menonton film.
Kelebihan wartawan sebagai juri dalam pandangan Daniel adalah karena mereka sering berinteraksi dengan penonton film. Memintai pendapat penonton film dan film apa yang sedang digandrungi oleh penonton film.
Tidak Kepala Kosong
Susi Ivaty menerangkan, untuk menjadi juri yang menilai film, harus tidak dengan kepala kosong. Dengan begitu, kata Susi, seorang juri bisa mengajukan argumen mengapa dia memilih suatu film untuk dinilai bagus atau tidak.
“Seorang juri harus mampu memaparkan dan berargumentasi tentang defenisi sebuah film yang baik atau buruk. Dan pada akhirnya, bisa menyimpulkan definisi itu sangat dinamis dan berspektrum!,” kata Susi.
Susi menambahkan, berdebat dan mengadu argumentasi dalam menilai film sangat bagus dan harus menjadi tradisi yang dipertahankan dalam penyelenggaraan FFWI.
Dalam beradu argumen itu, kata Susi, harus dilandaskan pada pengetahuan film yang mumpuni, meski tidak sempurna. Karena dalam menilai film, setiap orang memiliki sudut pandang sendiri, tetapi mempunyai alasan yang secara teknis bisa diterima.
Bagi Susi yang tak kalah penting, seorang juri wajib mengetahui budaya dan adab suatu daerah atau komunitas. Meski itupun tidak harus ahli. Olehnya itu, Susi mengingatkan, penempatan soal budaya ini terlihat kuat dalam film-film Korea maupun Hollywood.
“Film mereka sukses terletak pada apa sih? Saya kira terletak pada kultur yang membungkusnya, ada bahasa, ada gerak, ada musik. Sehingga sebenarnya, membaca film adalah membaca budaya!,” terang Susi.
Discussion about this post