Mirisnya, realitas gurita oligarki ini tidak akan bisa diatasi dengan sistem yang ada, hal ini diungkap oleh Ford & Pepinsky dalam analisisnya 2014 dengan judul Beyond Oligarchy: Wealth, Power, and Contemporary Indonesia Politics.
Menurut mereka, gerakan yang kontra terhadap oligarki, seperti kelas pekerja, NGO dan lain-lain, tidak akan terlalu berarti dan kuat untuk melawan dominasi Oligarki. Mereka akan gagal dalam mengejar kepentingan mereka, karena kuatnya oligarki yang tidak bisa dikalahkan pengaruhnya.
Kekuatan mereka karena memiliki kekayaan dan kekuasaan, hal ini akan menentukan demokrasi atau politisi yang muncul ke permukaan. Jadi seseorang yang hendak menduduki jabatan politik tertentu, baik presiden maupun kepala daerah, mereka tidak bisa memanjat jenjang itu sendiri.
Mereka butuh elit-elit kaya yang memberi izin kepada mereka untuk memangku jabatan politik. Bahkan, Demokrasi (pemilu) yang dipakai, sama sekali tidak merubah peran para sentral oligarki, melainkan hanya merubah perilaku oligarki. Dalam setiap kompetisi pemilihan umum, memang peran oligarki tidak secara langsung berkuasa, namun peran dan kekuasaan mereka dalam menentukan pemenang sangat dominan.
Oleh karena itu, negeri ini urgen diselamatkan dan butuh solusi paripurna yang permanen untuk menyudahi problem sistem gagal demokrasi yang telah berubah wujud menjadi gurita oligarki struktural.
Problem ini bukan problem teknis politik ekonomi semata, tapi problem cacat bawaan Kapitalisme sekuler abad ini, disemua negara orbit Kapitalisme. Solusi paripurna itu tak lain adalah Islam. Sebab, Islam punya “success story” mengatasi oligarki Mekkah pada awal-awal Daulah Islam terbentuk. Bagaimana Rasullulah sebagai Kepala negara dan pemerintahan mengambil alih kepemilikan umum dan mendistribusikan kekayaan milik umum ini atas dasar Al Quran sebagai azas negara secara absolut dan mutlak.
Untuk pemerataan dan memutus peran oligarki Mekkah kala itu, Rasullulah membatasi akumulasi modal dan membatasi domestifikasi terhadap sumber-sumber vital kehidupan saat itu. Karena kala itu Oligarki Mekkah bukan cuma menguasai agrarian, tapi juga memegang hak atas sumber-sumber air yang begitu vital bagi kehidupan masyarakat gurun.
Discussion about this post