Terlebih, pendaftaran pemilih merupakan kewajiban dari penyelenggara pemilu, dan bukan kewajiban warga negara untuk mendaftarkan dirinya, sehingga semestinya warga negara memperoleh kemudahan, transparansi serta pelayanan terbaik agar dapat menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum.
Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VI/2009, tertanggal 6 Juli 2009 menentukan bahwa warga negara yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih dapat menggunakan hak pilih dengan menggunakan dientitas kependudukan, yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK) dan Paspor. Artinya, MK membatalkan legitimasi syarat penggunaan hak memilih haruslah yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT).
Selain itu, Mahkamah Konstitusi pula membatalkan norma tersebut dan membuka ruang bagi warga negara yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap untuk dapat memilih dalam pemilu. Putusan Mahkamah Konstitusi diatas dianggap sebagai sebuah terobosan hukum yang cemerlang karena menyelamatkan hak-hak konstitusional warga negara yang kehilangan hak pilihnya pada pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden serta sangat menyentuh rasa keadilan ditengah masyarakat.
Upaya Penyelematan Hak Pilih
“Kebenaran hukum tidak dapat ditafsirkan semata-mata sebagai kebanaran undang-undang, tetapi harus dipahami sebagai kebanaran prinsip keadilan yang mendasari undang-undang (Satjipto Rahardjo)”.
Kutipan pernyataan Satjipto Rahardjo diatas, memiliki korelasi dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VI/2009 yang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Dapat dibayangkan jika sekiranya penggunaan hak memilih hanya berdasarkan pada daftar pemilih tetap (DPT), akan ada ribuan bahkan jutaan Hak Konstitusional warga negara yang akan dilanggar.
Peranan Mahkamah Konstitusi dalam penyelamatan dan perlindungan hak konstitusional warga negara tercermin dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VI/2009 tertanggal 6 Juli 2009.
Terobosan MK dalam pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Pasal 42 dan Pasal 111 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2008 diatur bahwa sala satu syarat untuk dapat memilih adalah terdaftar sebagai pemilih. Adapun masing-masing norma tersebut adalah berbunyi :
Pasal 28 untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 harus terdaftar sebagai pemilih
Pasal 111 Ayat (1) pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPS meliputi :
d. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tetap pada TPS yang bersangkutan; dan
e. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tambahan.
Ketentuan diatas, menjelaskan terdaftar sebagai pemilih merupakan syarat wajib yang mesti dipenuhi untuk dapat menggunakan hak memilih. Akibatnya, seorang warga negara yang tidak tercantum dalam daftar pemilih akan kehilangan hak memilihnya.
Konsekuensi hilangnya hak memilih karena tidak terdaftar sebagai pemilih adalah tidak adil, sebab hak memilih merupakan hak yang dijamin konstitusi. Lebih dari itu, ketentuan Pasal 28 dan Pasal 111 ayat (1) telah menghilangkan hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) dan Ayat (3) UUD 1945.
Pertimbangan dan argumentasi hukum yang dikemukakan MK dalam permohonan pengujian norma Pasal 28 dan Pasal 111 ayat (1), Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal tersebut adalah konstitusional sepanjang diartikan mencakup warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT dengan lima syarat dan cara : Selain warga negara Indonesia yang terdaftar dalam DPT, warga negara Indonesia yang belum terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku atau Paspor yang masih berlaku bagi warga negara Indonesia yang berada di luar negeri; warga negara Indonesia yang menggunakan KTP harus dilengkapi dengan Kartu Keluarga (KK) atau nama sejenisnya;
Penggunaan hak pilih bagi warga negara Indonesia yang menggunakan KTP yang masih berlaku hanya dapat digunakan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berada di RT/RW atau nama sejenisnya sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP-nya; Warga negara Indonesia sebagaimana disebutkan dalam angka 3 di atas, sebelum menggunakan hak pilihnya, terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat; Warga negara Indonesia yang akan menggunakan hak pilihnya dengan KTP atau Paspor dilakukan pada 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS atau TPS Luar Negeri setempat.
Secara substansial, MK memutuskan demikian didasarkan pada eksistensi hak pilih sebagai hak asasi manusia sekaligus hak konstitusional warga negara. Ketentuan yang mengharuskan terdaftar sebagai pemilih tidak boleh menegasikan hak pilih warga negara. Dalam arti, prosedur administratif berupa terdaftar sebagai pemilih tidak boleh menegasikan hak pilih.
Dengan demikian warga negara Indonesia tidak perlu khawatir akan kehilangan hak pilihnya dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang tidak terdaftar dalam DPT tetap dapat menggunakan hak pilihnya sepanjang memenuhi syarat sebagaimana diuraikan diatas.
Peran Mahkamah Konstitusi menyelamatkan hak pilih dalam pemilu kembali dipertaruhkan dengan lahirnya Undang-Undang Pemilihan Umum yang baru. Melalui pengujian Pasal 348 ayat (9) UU 7 Tahun 2017, MK kembali mengambil peran strategis untuk mengamankan hak pilih warga negara. Menilik ketentuan Pasal 348 ayat (1) huruf d menyatakan bahwa “pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPS meliputi : d. penduduk yang telah memiliki hak pilih”.
Namun Pasal 348 ayat (1) tersebut dipersempit oleh ketentuan Pasal 348 ayat (9) yang menyatakan bahwa “penduduk yang telah memiliki hak pilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat memilih di TPS/TPSLN dengan menggunakan kartu tanda penduduk elektronik”.
Ketentuan tersebut kembali membatasi hak warga negara dalam pemilu, dimana KTP Elektronik menjadi satu-satunya dokumen admnistrasi kependudukan yang dapat digunakan untuk memilih dalam pemilu. Artinya, Ketika seorang warga negara yang memiliki hak pilih tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap pun pemilih tambahan dan tidak memiliki KTP-el maka secara hukum tidak dapat menggunakan hak memilihnya.
Discussion about this post