PENASULTRA.ID, JAKARTA – Sengkarut masalah dunia pertambangan ternyata belum juga usai meski sejumlah regulasi telah diterbitkan pemerintah.
Salah satunya persoalan transaksi perdagangan bijih nikel yang diberlakukan para pemilik pabrik pemurnian ore nikel atau smelter. Padahal, tata niaga nikel domestik telah diatur melalui Harga Patokan Mineral (HPM) berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2020.
Hal tersebut mencuat saat webinar Core Media Discussion yang digelar pada Selasa 12 Oktober 2021 lalu.
“Kami sebagai penambang agak sedikit kecewa karena beberapa smelter yang berdiri itu melakukan kegiatan transaksi yang dalam batasan kami itu suka-suka,” ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey seperti dikutip dari laman tambang.co.id.
Pengusaha smelter, kata Meidy, kerap mematok harga sendiri dan proses transaksi perdagangan tidak mengacu pada regulasi yang ada. Walhasil, para penambang akhirnya seolah-olah memberi bijih nikel gratis ke industri smelter.
“Sedangkan di tahun 2017 waktu itu sudah ditetapkan melalui Permen ESDM Nomor 7, ada harga patokan mineral, di mana harga patokan ini basis kami para penambang untuk membayar kewajiban ke negara yaitu PNPB melalui royalti 10% dan PPH 1,5%,” katanya.
Page 1 of 3
Discussion about this post