Mengutip komentar Koordinator Divisi Sosialisasi dan Partisipasi Masyarakat KPU RI August Mellaz saat menghadiri diskusi bertajuk “Pentingnya Pemilih Pemula dan Pemilih Muda Mengenal Bentuk dan Jenis Pelanggaran Pemilu” yang dimuat dalam Kompas.com, 10 Februari 2023 bahwa “antara usia 15 tahun yang mungkin nanti merupakan pemilih pemula pada Pemilu 2024 mendatang, sampai usia 39-40 tahun, itu proporsinya sekitar 53-55 persen, atau 107-108 juta dari total jumlah pemilih di Indonesia”.
Angka ini cukup signifikan, sehingga penyelenggara pemilu dan peserta pemilu sangat penting untuk melakukan langkah-langkah strategis agar pemilih pemula mendapatkan pendidikan politik serta akses informasi terkait pemilu 2024.
Kecenderungan karakteristik pemilih pemula yang kritis, mandiri, independen, dan pro perubahan merupakan instrumen yang kondusif untuk mewujudkan komunitas pemilih cerdas yakni pemilih yang mempertimbangkan rasionalitas dalam menentukan pilihannya.
Pendidikan politik merupakan salah satu upaya menstimulus perkembangan pemahaman dan kesadaran kepada pemilih pemula untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan politik baik secara pasif maupun aktif sesuai dengan kemampuan dan cita-citanya.
Pendidikan politik sebagai bagian dari sosialisasi politik, tidak hanya terbatas pada pengenalan seseorang terhadap peran individu dalam partisipasinya dalam pemerintahan, partai politik dan birokrasi. Tetapi pada hakikatnya adalah terbangunnya proses pendewasaan dan pencerdasan seseorang akan tanggung jawab individu dan kolektif untuk menyelesaikan permasalahan bangsa sesuai otoritasnya yang mengandung makna mentalitas dan etika dalam berpolitik.
Pendidikan politik bagi pemilih pemula dapat dilakukan melalui sosialisasi politik dalam keluarga dan sekolah. Perannya sangat penting dalam membentuk pengetahuan, sikap, nilai, norma dan perilaku pemilih pemula. Sosialisasi politik dalam keluarga sangat ditentukan oleh karakteristik dan pola asuh orang tua.
Pola asuh represif yang menekankan pada kepatuhan anak dan pemberian hukuman terhadap perilaku yang keliru akan berdampak pada kecenderungan akan tumbuh menjadi politisi yang diktator. Sebaliknya pola asuh partisipatif yang menekankan pada otonomi anak akan cenderung tumbuh menjadi politisi yang demokratis.
Sekolah sebagai sistem sosial memberi ruang yang efektif untuk proses sosialisasi politik. Guru merupakan figur sentral bagi siswa yang tidak hanya berfungsi sebagai transformasi nilai-nilai dan transformasi ilmu pengetahuan. Tetapi lebih dari itu, guru menjadi role model bagi siswa dalam berpikir, bertindak, dan bersikap.
Oleh karena itu guru dan seluruh warga sekolah harus mampu menunjukkan sikap-sikap kepemimpinan demokratis dalam setiap pengambilan keputusan sebab diyakini mampu membangun sikap kritis sekaligus konstruktif bagi siswa.
Selain itu, pendidikan politik disekolah tidak hanya dapat diterapkan dalam pembelajaran kelas tetapi siswa juga dapat diberikan pendidikan politik melalui organisasi-organisasi siswa seperti OSIS, yang dalam hal ini dapat menjadi pembelajaran konkrit pendidikan politik dalam hal bagaimana siswa melakukan pemilihan ketua OSIS dengan mempraktikkan asas-asas demokrasi yang berpegang teguh pada pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.(***)
Penulis merupakan Ketua PC GP Ansor Kabupaten Muna
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post