<strong>Oleh: Asma Ummu Mujahid</strong> Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Inilah pepatah yang selalu dipegang oleh sesiapa saja ketika berjuang mengarungi kehidupan dengan segala ujian dan tantangannya, tak terkecuali pekerja honorer, tetap sabar dan optimis menyulam harapan akan kehidupan yang lebih baik di masa depan. Namun, tampaknya hal itu hanya sebatas harapan kosong. Pasalnya, harapan para pejuang NIP yang telah dipupuk bertahan-tahun lamanya, terancam kandas dan berujung kekecewaan. Seperti yang ramai diberitakan media, pemerintah memastikan akan menghapus tenaga honorer per 28 November 2023. Hal ini tertuang dalam surat Menteri PAN RB No.B/185/M.SM. 02.03/2022 perihal Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan keputusan tersebut, Aparatur Sipil Negara hanya terdiri dari dua, yaitu PNS dan PPPK. Pun, proses rekrutmen diganti dengan sistem Outsourcing. Namun demikian, pemerintah masih memberikan kesempatan kepada tenaga honorer untuk mengikuti tes CPNS selanjutnya. Melansir Republika.co.id, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjhahjo Kumolo menyatakan, penghapusan pekerja honorer bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Sebab, menurut Menpan, selama ini tenaga honorer direkrut dengan sistem yang tidak jelas, sehingga mereka kerap mendapat gaji di bawah upah minimum regional (UMR). Pekerja honorer juga dianggap mengacaukan hitungan formasi instansi. Selain itu, tenaga honorer dinilai menjadi beban bagi negara. Ketua MPR Syarief Hasan, menyayangkan putusan tersebut. Ia meminta pemerintah mengkaji kembali kebijakannya. Menurutnya, tenaga honorer memiliki peran sangat penting di berbagai sektor publik. Hal ini menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap nasib jutaan rakyat yang menggantungkan hidupnya dengan bekerja sebagai honorer. Jika keputusan tersebut terealisasi, maka bisa dipastikan, ratusan ribu tenaga honorer akan kehilangan pekerjaannya. Tentu saja, hal ini akan menambah jumlah pengangguran, dan otomatis akan berdampak pada memburuknya kondisi sosial masyarakat. Kebijakan ini menunjukkan rendahnya perhatian pemerintah terhadap sumber daya manusia yang semestinya difasilitasi dan diurusi dengan baik. Mengenai anggapan bahwa tenaga honorer adalah beben negara, tentu tidak fair. Sebab, fakta selama ini, para pekerja honor ini mendapat gaji yang tidak sebanding pengorbanan serta tanggung jawab yang mereka emban. Ini justru menguntungkan bagi negara. Sebab, pekerja honor bekerja sebagaimana layaknya PNS, bahkan lebih. Namun, mereka rela menerima gaji tak seberapa. Artinya, negara bisa menghemat anggaran berkali-kali lipat dari gaji PNS. Di samping itu, dengan keberadaan tenaga honorer, angka pengangguran menjadi berkurang. Alhasil, visi mengentaskan kemiskinan dan mengurangi pengangguran kontradiksi dengan kebijakan yang diterapkan. Alih-alih honorer sejahtera, yang terjadi justru kian terpuruk dalam kemiskinan dan penderitaan. Sebab, tujuan pemerintah yang konon menginginkan kesejahteraan honorer, tidak sejalan dengan solusi yang ditempuh. Ibarat kata, "Jauh panggang dari api". Semua itu, tidak lain karena negara mengemban sistem demokrasi yang lahir dari rahim kapitalisme sekuler. Sistem inilah yang selama ini menjadi kompas bagi penguasa ketika menjalankan urusan pemerintahan. Alih-alih menyelamatkan nasib rakyat kebijakan penghapusan tenaga honorer justru semakin menyengsarakan. Seperti itulah tabiat aturan turunan dari sistem kapitalisme. Hubungan negara dengan rakyat tak ubahnya seperti pedagang dan pembeli, dimana segala kebijakan yang dibuat selalu berorientasi untung rugi. Bukan orientasi kemaslahatan dan pelayanan. Lalu bagaimana Negara Islam mengatasi persoalan pekerja? Islam dengan sistemnya yang luhur, terpancar dari akidah. Sumber hukumnya adalah Al-qur'an dan Sunnah. Sistem Islam menjadikan Daulah Islam sebagai negara yang menjalankan fungsi pelayan dan pelindung yang dilandasi ketakwaan kepada Allah. Sehingga, setiap apa yang menjadi tanggung jawab negara, senantiasa dipenuhi dengan penuh kesadaran. Apa saja yang menyangkut hajat hidup orang banyak, akan menjadi prioritas utama negara. Sehingga, negara akan menuntaskan apapun persoalan warga negara tanpa membedakan status, baik PNS maupun non PNS. Hartawan atau fakir miskin, bahkan muslim maupun non muslim. Dalam Islam, profesi/pekerjaan apapun, status pelakunya disebut sebagai pekerja. Setiap pekerja berhak atas upah sebagaimana akad ujrah atau penggajian yang ditetapkan oleh negara, atau sesuai kesepakatan dalam akad ijarah (perjanjian atau kontrak kerja) antara ajir (pekerja) dan mustajir (majikan). Sejarah mencatat, pada masa kejayaan Islam, Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah menetapkan gaji pegawai mencapai 300 Dinar atau setara dengan Rp114.750.000. Jumlah fantastis yang hingga hari ini tidak tertandingi oleh sistem manapun. Penggajian pegawai tersebut diambil dari perbendaharaan negara, yakni Baitul Mal. Kas Baitul Mal diperoleh dari berbagai sumber sesuai ketentuan yang diatur dalam syariat Islam. Dalam sistem Islam, negara benar-benar hadir dan bertanggung jawab memastikan kesejahteraan rakyatnya, sebagimana dipahami bahwa kepemimpinan di dunia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Hal ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar. Ia mengatakan, Rasulullah SAW bersabda, "Ketahuilah bahwa setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya, seorang pemimpin umat manusia adalah pemimpin bagi mereka dan ia bertanggung jawab dengan kepemimpinannya atas mereka." Oleh karena itu, seyogianya kita kembali pada penerapan syariat Islam Kaaffah, untuk menggantikan sistem buruk yang tidak lain merupakan produk akal manusia, yakni demokrasi kapitalisme. Dengan kembali menerapkan Islam Kaaffah, niscaya dunia akan kembali dipenuhi kebaikan. Kebaikan yang akan membawa rahmat bagi seluruh alam. Sebab, sejatinya, Islam diturunkan sebagai Rahmatan lil 'aalamiin. Wallahu a'lam bis showwab<strong>.(***)</strong> <strong>Penulis: Pemerhati Kebijakan Publik</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://www.youtube.com/watch?v=i8-HMYOLJuU
Discussion about this post