Kongres Rakyat Nasional (Kornas) sebagai bagian civil society merangkum dan merekam keresahan rakyat Indonesia. Politik uang dan transaksi uang sudah masuk kategori sebagai “bahaya laten”. Semua jenis pemilihan penyelenggara urusan pemerintahan sudah diserang wabah politik uang. Pemilihan kepala desa (Pilkades), pemilihan ketua rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW) maupun kepala dusun (kadus) serta kepala lingkungan (kepling) ikut terpapar transaksi uang.
Hal serupa terjadi juga dalam berbagai pemilihan di tubuh organisasi non pemerintah (Ornop). Meski Ornop tidak mengelola keuangan pemerintah, namun pemilihan pimpinan Ornop, seperti organisasi kemahasiswaan, organisasi kemasyarakatan pemuda, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, hingga organisasi ikatan alumni sekolah atau kampus juga telah terpapar.
Ornop yang sejatinya sebagai “civil society”, “pressure group”, dan “moral force”, justru lebih akrab dengan istilah “no lunch free”. “Buang air kecil di toilet umum saja bayar”, “tidak ada yang gratis”, “semua butuh uang kopi” atau “tambahan untuk tiket pulang anggota rombongan”.
Ironisnya, para calon pimpinan organisasi mahasiswa pun belakangan ini harus memiliki “bandar politik” baik dari kalangan pengusaha, “oknum penyelenggara negara”, hingga dari kalangan elit Parpol.
Saat ini sedang berlangsung rekrutmen penyelenggara Pemilu baik KPU dan Bawaslu untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dugaan terjadinya transaksi uang dan intervensi Parpol sangat kuat. Akibatnya para calon penyelenggara justru lebih sibuk membahas “gerbong dan afiliasi Parpol” daripada belajar materi seleksi. Para calon penyelenggara “incumbent” gelisah karena Jakarta merubah pola.
Penentuan tim seleksi yang tidak transparan, diduga sebagai upaya penertiban, pengendalian dan kanalisasi penyelenggara Pemilu. Sehingga semua penyelenggara Pemilu akan bekerja untuk mengamankan kepentingan Parpol dalam Pemilu.
Situasi tersebut melengkapi keresahan para calon penyelenggara. Akhirnya semua calon penyelenggara berusaha mencari akses dan “berteman” dengan tim seleksi dan Parpol. Pilihan tersebut sebagai upaya “merebut atau mempertahankan pekerjaan” lima tahunan yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Praktik tersebut semakin barbar di daerah dimana calon-calon penyelenggara Pemilu, baik KPU dan Bawaslu di provinsi dan kabupaten/ kota harus mendapat “rekomendasi dan dukungan” dari Parpol tertentu. Sebab permainan diatur dan ditentukan oleh oknum pimpinan Parpol dari tingkat pusat hingga daerah.
Kolaborasi dilakukan oleh Parpol dengan “alumni atau senior” organisasi mahasiswa secara terstruktur, sistematis, dan masif. Maka seragam penyelenggara yang seharusnya putih, kini terpaksa mengikuti lagu anak-anak “merah, kuning, hijau, di langit yang biru”.
Darurat Politik dan Transaksi Uang
Putusan MKRI yang mempertahankan sistem proporsional terbuka dengan segala kekurangannya diyakini sebagai sistem Pemilu yang terbaik saat ini. Akan tetapi praktik politik uang menjadi kenyataan yang pasti akan terjadi. Untuk mengurangi, mengendalikan, dan menghentikan politik uang, maka Kornas menyampaikan pandangan dan sikap sebagai berikut:
Pertama, bahwa terdapat hal ikhwal kegentingan yang memaksa tentang “darurat politik uang dalam Pemilu”. Maka Perpu Pemberantasan Politik Uang dalam Penyelenggaraan Pemilu harus segera diterbitkan.
Discussion about this post