Kendala kedua yakni terkait pasokan bahan baku. Menurutnya, pemerintah perlu memastikan bahwa bahan baku harus selalu tersedia.
“Kalau kita lihat konsumsi setahun Pertamax itu mencapai 15 juta kiloliter. Kalau mau disubstitusi lima persen, itu jumlahnya cukup besar. Apalagi kalau nanti tidak hanya Pertamax, tapi juga produk gasolin lain. Atau produk bensin lainnya, itu memang harus ditambah pasokannya. Ini yang menjadi tantangan karena persoalan dulu juga begitu, soal kepastian pasokan. Ini yang menurut saya perlu dibereskan,” tuturnya.
Tantangan selanjutnya, kata Fabby, terkait tata niaga etanol ini sendiri. Bioetanol seharusnya tidak dikenakan cukai, karena merupakan produk bahan bakar.
Ia menilai, program tersebut juga bisa diarahkan untuk meningkatkan produktivitas pertanian di Tanah Air, khususnya tanaman yang bisa memproduksi etanol. Fabby juga menyarankan kepada pemerintah untuk melakukan diversifikasi bahan baku untuk bioetanol tersebut, jangan bergantung kepada sumber pangan saja.
“Misalnya kalau kita bicara jagung, tebu yang memang bisa dipakai buat etanol itu mahal karena jadi sumber pangan. Mungkin tanaman yang tidak menjadi sumber pangan misalkan sorghum dan lain-lain. Semakin banyak varietas untuk pengembangan etanol semakin bagus,” jelasnya.
“Kita juga harus pastikan karena ini adalah produk pertanian kita harus pastikan bahwa carbon footprint-nya rendah, karena dia akan mensubstitusi BBM. Jadi untuk mendapatkan manfaat lingkungan yakni penurunan gas emisi rumah kaca maka perlu agar gas emisi rumah kaca terus diperhatikan,” pungkas Fabby.
Sumber: voaindonesia
Editor: Ridho Achmed
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post