Belum lagi polemik pembebasan lahan yang selalu terjadi hampir di setiap pembangunan. Tentunya, rakyat sebagai pihak lemah tidak memiliki daya tawar, hingga harus rela menerima nasib, melepaskan tanah mereka dengan harga yang tidak pantas.
Begitupun dengan bisnis pendukung seperti toko-toko, restoran, dan lainnya yang melengkapi arena wisata. Semua itu hanya memberi peluang bagi pemilik modal untuk melebarkan usaha. Tak terjangkau oleh masyarakat kecil yang tidak memiliki modal besar dan kemampuan bisnis yang mumpuni.
Lagi-lagi, hanya korporasi besar yang akan mendulang keuntungan dengan berdirinya resort-resort dan hotel milik mereka.
Penghargaan di bidang pariwisata yang dipersembahkan untuk masyarakat Sulawesi Tenggara hanyalah angin segar sesaat. Bahkan, tak ada urgensinya sama sekali bagi kesejahteraan rakyat. Alih-alih mengeluarkan masyarakat dari persoalan ekonomi yang kian mengimpit. Justru keburukanlah yang terjadi.
Keburukan yang membahayakan akidah kaum muslim, tatanan kehidupan sosial, bahkan lingkungan. Sebab, sering kali pembangunan kawasan wisata malah merusak keseimbangan ekosistem.
Sesungguhnya, pariwisata dalam asuhan Islam adalah sarana syiar yang efektif. Sebab, selain menyuguhkan pesona keindahan alam yang mengundang decak kagum, dan bukti kemahabesaran Allah SWT., pariwisata pun menjadi tempat untuk memperkenalkan budaya Islam yang khas dan unik. Sehingga, para turis akan semakin tertarik untuk memahami Islam.
Dengan demikian, menjadi penting untuk dipahami oleh umat bahwa menjadikan pariwisata sebagai bagian dari uslub dakwah bukan hanya berbicara sebatas konsep teknisnya saja, namun lebih dari itu. Kita harus membenahi tata kelola negara yang sekuler kapitalistik ini, menggantinya dengan tata kelola pariwisata sesuai tuntunan Islam. Sehingga, sektor pariwisata kembali menempati fungsi utamanya sebagai wahana syiar Islam. Wallahu a’lam.(***)
Penulis: Pegiat Literasi Kota Kendari
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post