Oleh: Abdul Rajab
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung adalah salah satu peristiwa politik sebagai manifestasi demokrasi.
Demokrasi yang dimaknai sebagai pemerintahan rakyat atau pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat berarti rakyat memiliki kedaulatan menentukan kebijakan politik yang dilakukan oleh wakil rakyat bersama pemimpin yang telah dimandat atau diamanahkan melalui proses pemilihan kepala daerah untuk pemerintahan kabupaten/kota dan provinsi.
Partisipasi rakyat sebagai pemilih sangat menentukan legitimasi dan kualitas wakil rakyat atau pemimpin yang dihasilkan.
Pilihan rakyat berdasarkan penilaian rasional yang terukur dengan melihat kapasitas, integritas dan profesionalitas terhadap pemimpin tentu sangat bisa diharapkan terwujudnya masyarakat adil dan makmur.
Akan tetapi bila rakyat sebagai pemilih menentukan pilihannya terhadap calon pemimpin atas dasar emosional karena kepentingan sesaat akibat provokasi dan proses jual beli suara sebagai bentuk politik atau demokrasi transaksional, maka dapat diidentikan sebagai ‘kemaksiatan demokrasi’.
Rakyat sebagai pemilih yang demikian diibaratkan ‘pelacur politik’ dan politisi yang mengandalkan uang atau isi tas dapat diidentikan sebagai ‘politisi hidung belang’ yang lebih cenderung menjadi ‘penikmat’ dan rakyat hanya dijadikan objek retorika.
Meski terus berulang, mereka juga tetap menerimanya sebagai sebuah tradisi kebiasaan. Seakan tak peduli bahwa mereka menggadaikan suaranya untuk lima tahun ke depan dengan sejumlah uang, sepaket sembako dan bantuan instan lainnya.
Discussion about this post