Kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia.
Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari Mahkamah Internasional (MI), sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia.
Kekalahan telak Indonesia atas Malaysia, akhirnya menyebabkan wilayah Indonesia beserta lautnya semakin berkurang. Bahkan Malaysia belum merasa puas dengan kemenangan tersebut.
Negara jiran tersebut, masih mengincar perairan Ambalat yang mereka anggap masih termasuk wilayah perairannya.
Ambalat adalah blok laut luas mencakup 15.235 kilometer persegi yang terletak di Laut Sulawesi atau Selat Makassar dan berada di dekat perpanjangan perbatasan darat antara Sabah, Malaysia, dan Kalimantan Timur, Indonesia. Wilayah Ambalat menjadi silang sengketa kedua negara ini karena mempunyai cadangan minyak dan gas Ambalat sangat besar.
Menurut ahli geologi dari lembaga konsultan Exploration Think Tank Indonesia (ETTI) Andang Bachtiar, satu titik tambang di Ambalat menyimpan cadangan potensial 764 juta barel minyak dan 1,4 triliun kaki kubik gas. Itu baru satu titik dari sembilan titik yang ada di Ambalat. Hal inilah yang menyebabkan Malaysia semakin berbuat nekat.
Beberapa kali Malaysia melakukan provokasi dengan melewati wilayah Ambalat menggunakan kapal maupun pesawatnya. Sebanyak 13 kali kapal dan pesawat Angkatan Tentara Malaysia memasuki wilayah kedaulatan Indonesia di Ambalat, Kalimantan Timur, sejak Januari 2009.
Sampai dengan tahun 2012 berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan telah terjadi sekitar 475 kali pelanggaran yang dilakukan Malaysia baik lewat laut, darat dan udara. Indonesia bukannya tidak protes, tapi memang keberatan Pemerintah Indonesia dianggap angin lalu bagi Malaysia.
Meskipun kapal perang Indonesia dikerahkan mengusir kapal perang maupun pesawat udara Malaysia, akan tetapi sepertinya semua itu sia-sia saja. Bahkan negara Malaysia semakin arogan, di mana mereka melakukan kesepakatan dengan swasta untuk mengelola wilayah Ambalat.
Malaysia pada tahun 2002 menyerahkan kedua blok itu yang dinamai Blok Y dan Z kepada Shell (Belanda), yang bekerja sama dengan Petronas Carigali Sdn Bhd (Malaysia).
Dalam sebuah artikel berjudul “Badawi: Konsesi Petronas Terletak di Malaysia”, Perdana Menteri Abdullah Badawi dan Menlu Syeh Hamid Albar menegaskan bahwa pihaknya tidak salah dalam melakukan uniteralisasi peta 1979, dan bahwa konsesi yang diberikan Petronas kepada Shell di perairan Laut Sulawesi berada di wilayah teritorial Malaysia.
Dapat dilihat bahwa salah satu dasar klaim Malaysia terhadap blok Ambalat yang paling jelas adalah peta yang dikeluarkan oleh Malaysia secara unilateral pada tahun 1979 yang disebut Peta Baru 1979.
Peta baru Malaysia 1979 diduga kuat peta didasarkan pada ketentuan Konvensi 1958 (UNCLOS I = JENEWA). Padahal dengan keluarnya United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, peta baru Malaysia 1979 sudah tidak bisa diberlakukan lagi karena tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam konvensi ini.
Pasal 311 United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 menyebutkan bahwa konvensi ini harus diutamakan dari konvensi-konvensi sebelumnya. Idealnya Malaysia mengeluarkan peta baru berdasarkan aturan UNCLOS 1982, namun begitu Malaysia tetap menyatakan bahwa Peta Baru Malaysia adalah peta nasional Malaysia.
Hal seperti ini tidak boleh dibiarkan berlarut–larut. Harus ada tindakan tegas dari Pemerintah Indonesia. Selain itu, Indonesia mesti menyusun strategi pembuatan peta yang memasukkan wilayah Ambalat ke dalam wilayah NKRI yang ditetapkan melalui sebuah kebijakan atau regulasi yang mesti diumumkan ke publik nasional maupun internasional, melakukan pembangunan pada wilayah Ambalat, bekerjasama dengan perusahaan multi nasional maupun asing serta menggelar latihan operasi militer.
Strategi seperti ini, sebenarnya dalam beberapa hal sudah pernah dilakukan oleh Malaysia yang berhasil merebut Pulau Sipadan dan Ligitan.
Sudah saatnya Pemerintah Indonesia berkonsentrasi dengan potensi wilayah kemaritiman demi menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat kaya, agar dapat menyokong perekonomian nasional dan sekaligus ikut mensejahterakan masyarakat Indonesia. Sehingga, diharapkan tidak terjadi lagi hilangnya pulau-pulau kecil yang ada di negara ini pada masa yang akan datang.(***)
Penulis: Mahasiswa Program Doktoral Minat Manajemen Hutan Program Studi Ilmu Pertanian Pascasarjana Universitas Halu Oleo
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post