Dengan lanskap seperti itu, dapat dipastikan Indonesia memiliki potensi kekayaan sumber daya laut yang luar biasa, khususnya di sektor perikanan. Hasil perikanan menurut data statistik KKP tahun 2014-2021, jumlah nelayan perikanan tangkap di Indonesia mencapai hampir 3 juta orang yang tersebar di 34 provinsi.
Jawa Timur, Jawa Tengah, Maluku, Sulawesi Selatan dan Sumatra Utara menjadi 5 besar provinsi dengan jumlah nelayan terbanyak. Dilihat dari hasil, volume produksi perikanan tangkap yang dihasilkan capai 7 juta ton. Sedangkan penghasil perikanan tangkap berada di wilayah Pulau Sumatra dengan total produksi hampir 2 juta ton pada tahun 2021-2023.
Untuk nelayan pembudidaya, secara keseluruhan terdapat lebih dari 2 juta orang nelayan yang tersebar di seluruh Indonesia dan paling banyak terdapat di provinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan data statistik KKP, untuk volume produksi perikanan budidaya pembesaran lebih dari 14,5 juta ton ikan pada tahun 2021-2023, hampir senilai 200 miliar rupiah dan pulau Sulawesi total produksi budidaya diperkirakan 22,9 juta ton.
Pertumbuhan nilai ekspor produk kelautan dan perikanan menjadi salah satu perhatian utama pemerintah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip dari publikasi Statistik Indonesia, pada 2022-2023, nilai ekspor ikan segar/dingin hasil tangkap mencapai lebih dari 52 ribu ton, senilai lebih dari 111 juta US$ dengan negara tujuan ekspor terbesar ke Malaysia, Singapura, dan Jepang.
Apa hubungan potensi sumber daya ikan tersebut dengan PP 26 tahun 2023 yang mengizinkan sedimentasi laut, berupa pasir laut di ekspor ke berbagai negara utama seperti Singapore. Tentu, pengaruhnya sangat besar. Dengan demikian penghisapan, pengerukan, dan pengiriman ekspor pasir laut akan pengaruhi nilai, aktivitas, terumbu karang, dan sistem distribusi hasil perikanan akan menurun.
Objektifnya jelas, penghisapan dan pengerukan pasir laut berdampak pada matinya terumbu karang, rontoknya ekosistem laut dan tercemarnya perairan. Dampak tersebut, jelas pengaruhi kehidupan sosial ekonomi dan pendapatan bagi nelayan. Apalagi, zona pengerukan dan penghisapan pasir laut di wilayah Kepulauan: Riau, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatra. Sementara, penghasil ikan terbesar berada di garis pantai kepulauan tersebut.
Bisa dibayangkan, getaran dan gilasan mesin-mesin kapal penghisap dan pengerukan pasir laut dalam jarak 1 km-5 km dapat merontokkan terumbu karang dan merusak alur perairan yang selama ini ikan-ikan dan komoditas lain memiliki kebiasaan dalam bermigrasi ke satu perairan ke perairan lainnya.
Tentu jelas, PP 26 tahun 2023 selain mencemari dan juga merusak ekosistem laut dan merontokkan seluruh terumbu karang disekitarnya sehingga laut terancam. Dampaknya pun pada kehidupan sosial ekonomi manusia, terkhusus nelayan tangkap dan masyarakat yang hidup di kepulauan kecil (terluar dan terdalam).
Terutama daerah yang sekitar 96 persen wilayahnya adalah laut, sudah pasti memiliki pengalaman buruk atas tambang ekspor pasir laut yang dijual secara besar-besaran ke negara lain, sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan, pulau kecil nyaris tenggelam, dan nelayan sendiri makin sulit mencari ikan.
Manusia Perlu Bekerja dan Mencegah Pulau-pulau Tenggelam
Keluarnya PP 26 tahun 2023 tidak sejalan dengan seruan Sekjen PBB pada pidato Hari Laut Sedunia pada 8 Juni 2023 bahwa manusia perlu bekerja sama untuk menciptakan keseimbangan baru dengan lautan yang tidak lagi menguras kekayaannya, melainkan mengembalikan semangatnya dan memberinya kehidupan baru. Karena dampak keserakahan dan kerakusan manusia sangat keji.
Kebijakan negara tak lagi berorientasi pada enviromental etik dan ekologi. Hal itu dipicu oleh bayang – bayang pembayaran hutang, investasi dan pembangunan sebagai standar kehidupan lebih baik. Padahal negara dan warga negara bisa bertahan hidup, ketika ketersediaan dan keseimbangan alam yang menyiapkan pangan bisa terjaga (harmonis) dengan baik.
Discussion about this post