Oleh: Khaziyah Naflah
Sudah Jatuh, Tertimpa Tangga pula, inilah peribahasa yang menggambarkan apa yang dirasakan oleh warga +62 saat ini. Disaat kesehatan mahal, bahan pokok meroket, pendidikan mahal, pemerintah justru menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) pada 1 April 2022 kemarin.
Sebagaimana dilansir tempo.co, (8/10/2022) Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan pemerintah resmi menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) pada 1 April 2022 dari 10 persen menjadi 11 persen. Ketentuan itu diatur dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang baru saja disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Tarif PPN yang tadinya diusulkan naik ke 12 persen, DPR sesudah mendengar dan memperhatikan pandangan masyarakat, akhirnya dengan pemerintah bersepakat kenaikan dilakukan secara bertahap,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers seperti ditayangkan melalui YouTube Kementerian Keuangan, Kamis, 7 Oktober 2021.
Pemerintah menaikkan tarif PPN secara bertahap untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi. Kenaikan tarif akan berlanjut dengan memperhatikan kondisi perekonomian di dalam negeri.
Kebijakan Tua Polemik
Kebijakan ini kembali menuai polemik di tengah masyarakat. Pasalnya kebijakan ini bukan membantu perekonomian negara, tetapi justru memperburuk keadaan masyarakat dan membuat rakyat menderita.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Tauhid menilai keputusan pemerintah untuk memberlakukan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen akan menambah beban konsumen.
Menurut Ahmad, kenaikan tarif PPN akan memicu inflasi semakin tinggi. Ia lalu menunjuk sejumlah harga pangan yang terus merangkak naik saat ini. Harga minyak goreng, kedelai yang tinggi naik dan beras yang sudah mulai naik harga, akan menjadi pendorong inflasi.
“Kenaikan inflasi pangan ini akan menurunkan daya beli masyarakat. Sektor makanan dan minuman (mamin) yang terdampak kenaikan tarif PPN akan sangat dirasakan konsumen. Menurut saya menaikkan tarif PPN di tengah kondisi seperti saat ini kurang pas,” ujar Ahmad dalam keterangan di Jakarta, Senin (antaranews.com, 21/02/2022).
Selain itu, menurut Ekonom Senior, Faisal Basri kebijakan pemerintah ini dinilai tidak mengandung unsur keadilan bagi masyarakat. Keadilan yang dimaksud adalah ketika PPN naik menjadi 11% dari sebelumnya 10%. Namun di saat yang sama pajak penghasilan (PPh) badan diturunkan dari 25% menjadi 22%.
Selain itu, hal yang paling penting, menurut Faisal saat ini adalah masa sulit, konsumsi masyarakat biasanya tumbuh 5% kini cuma 2%. Kenaikan PPN ini juga akan berdampak pada kenaikan harga pangan dan kebutuhan sehari-hari masyarakat (cnbcindonesia.com, 25/03/2022).
Di sisi lain, menurutnya beberapa perusahaan besar mendapatkan banyak fasilitas atau keringanan pajak dari pemerintah. Bahkan katanya karena fasilitas itu, perusahaan smelter China di RI tidak membayar pajak.
Situasi ini berbanding terbalik dengan kebijakan PPN, pajak akan dibebankan kepada masyarakat luas (cnnindonesia, 24/03/2022). Dari kebijakan tersebut terlihat jelas adanya keberpihakan penguasa kepada pihak asing atau swasta (pengusaha besar) dari pada kepada rakyat sendiri.
Negara Pemalak Rakyat
Discussion about this post