Walaupun sudah banyak pihak yang meminta kebijakan ini ditunda, nyatanya pemerintah tak bergeming untuk menghentikannya, justru terus melaju dengan alasan kebijakan ini sudah disahkan UU. Sungguh, ini menjadi sebuah paradoks dalam sistem kapitalis demokrasi dalam menetapkan sebuah keadilan.
Bagaimana tidak, disaat UU yang memuat kepentingan para pemilik modal/oligarki, cepat untuk dirombak bahkan segera direvisi, seperti UU IKN, Minerba dan Ciptaker. Namun, disaat UU tersebut menyulitkan rakyat atau berhubungan dengan rakyat pemerintah justru sangat lambat revisi UU tersebut, bahkan UU tersebut justru berpeluang untuk segara disahkan.
Inilah wajah kapitalis demokrasi, alih-alih ingin memberikan solusi terhadap perekonomian negeri ini dan menyelamatkan keuangan negara, yang terjadi justru semakin membuat rakyat menderita, apalagi dalam situasi perekonomian yang belum pulih akibat hantaman pandemi covid-19.
Kehidupan rakyat dalam sistem ini seakan-akan selalu diburu oleh negara yang memungut pajak dalam berbagai lini kehidupan mereka dengan dalih pembiayaan negara. Hal ini jelas membuat rakyat tidak bisa bergerak dalam mensejahterakan kehidupan mereka. Alih-alih untuk sejahtera, rakyat justru harus menanggung beban hidup yang berat, ditambah dengan pungutan pajak yang tak henti mengintai mereka. Rakyat semakin menderita.
Inilah potret kehidupan manusia dibawah kepemimpinan kapitalis liberal yang menjadikan pajak dan utang berbasis ribawi sebagai pemasukan negara. Disaat utang membengkak, maka penguasa akan menjadikan pajak satu-satunya penopang pemasukan rakyat.
Pajak akan dikenakan kepada seluruh rakyat tanpa pandang bulu, bahkan hampir semua hal tak lepas dari sistem perpajakan. Peran negara dalam meriayah rakyat diminimalisir, bahkan negara tidak segan-segan menjadi pemalak bagi rakyat sendiri.
Seyogianya, negara Indonesia mampu mempunyai pemasukan yang besar dari sumber daya alam yang ada di dalam negeri ini. Sebab, negeri Indonesia terkenal sebagai negeri yang kaya.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Republik Indonesia pada 2020, Indonesia sendiri terbilang memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah. Di subsektor migas, cadangan minyak Indonesia yang tercatat saat ini 3,8 miliar barel. Lalu, dari sisa cekungan yang belum dieksplorasi yakni sebanyak 74 cekungan menyimpan potensi minyak 7,5 miliar barel.
Selain minyak, Indonesia tercatat memiliki cadangan gas sebanyak 135,55 trillion standard cubic feet (TSCF). Cadangan gas tersebut tersebar di beberapa lokasi dengan pembagian P1 atau terbukti 99,06 TSCF, P2 atau cadangan potensi sebesar 21,26 TSCF dan P3 (cadangan harapan) sebanyak 18,23 TSCF.
Disisi lain, Indonesia ternyata pemilik harta karun nikel terbesar di dunia. Indonesia disebut memiliki cadangan nikel sebesar 72 juta ton Ni (nikel) atau setara 52% dari total cadangan nikel dunia yang tercatat mencapai 139.419.000 ton Ni. Dan masih banyak lagi SDA lainnya yang dimiliki oleh Indonesia, namun hasilnya tidak bisa dijadikan sebagai pemasukan negara untuk mensejahterakan rakyatnya.
Hal ini akibat salah konsep tata kelola dalam sistem kapitalisme. Dimana konsep kapitalis liberal memberikan kebebasan kepada setiap individu bermodal untuk menguasai SDA tersebut.
Dengan dalih investasi para swasta dan pemilik modal bebas mendapatkan izin mengelola tambang, akibatnya hasil pengelolaan tambang hanya menguntungkan segelintir orang atau pengusaha sedangkan negara hanya sebagai regulator semata.
Padahal, SDA adalah harta milik umat yang pengelolaannya diserahkan kepada negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat untuk memenuhi kebutuhan mereka. Haram hukumnya diswastanisasi dan diprivatisasi.
Islam the Solusion
Islam sebagai agama yang sempurna nan paripurna menjadikan sebuah kepemimpinan adalah amanah untuk meriayah rakyat. “Imam/khalifah adalah raain (pengurus) rakyatnya, dia bertangungjawab atas pengurusan rakyatnya”. (HR. Al-Bukhori). Negara memiliki tanggung jawab penuh terhadap berbagai urusan masyarakat, termasuk di dalamnya persoalan ekonomi.
Discussion about this post