<strong>Oleh: Al Samiru</strong> Hajatan demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 270 daerah di Indonesia, dibayang-bayangi keterlibatan Aparatur Sipil Negara (ASN). Pilkada dan Netralitas ASN seolah bagai bara dan api yang sulit diredam. Pro kontra dikalangan masyarakat luas, ASN masih terlihat fulgar berpihak pada petahana. Meski kadang tercegat formalitas hukum dan kelatahan pengawasannya. Padahal, sesungguhnya netralitas ASN memiliki arti sangat penting dalam menjaga kualitas demokrasi. Terlebih dalam penyelenggaraan pemerintahan. ASN seyogyanya menjalankan fungsi teknis pemerintahan secara merdeka nan bebas dari berbagai kepentingan. Terkecuali pada galibnya, untuk kepentingan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pertama-tama, berdasarkan analogi terhadap netralitas keilmuan, hakikat objektivitas selalu bermuara pada kondisi netral. Jelas bahwa substansi netral adalah tidak memihak. Sejatinya, kondisi tidak memihak akan terpenuhi jika berada diluar sistem dan tidak memberikan ruang akan intervensi kepentingan. Dari basis substansi hukum jelas mencuatkan, bahwa posisi ASN saat ini berada dalam sistem yang terkoneksi dengan kepentingan politik. Pembatasan peran serta ASN dalam proses politik memiliki korelasi yang erat dengan konsepsi birokrasi yang berorientasi pada legitimasi, otoritas dan rasionalitas. Kenyataannya, berbagai aturan dan perundang-undangan dibuat guna memperkuat dasar larangan ASN untuk terlibat aktif dalam politik praktis dalam kesempatan apapun. Sanksinya pun juga telah disiapkan agar ASN menghindari keterlibatannya. Baik secara langsung maupun keterlibatan secara tidak langsung khususnya di era digital saat ini. Beberapa tindakan aquo semisal posting, <em>like, comment</em> dan share postingan yang mengandung kecondongan terhadap sala satu kelompok. Terlepas dari itu, bukan berarti menjadi terbatas penuh dalam berpolitik. Terdapat ruang yang dapat dilakukan, asal tidak menunjukkan keperpihakan pada salah satu subyek politik yang berkontestasi. Pemaknaan dalam konteks pelayanan publik, netralitas ASN menjadi asas yang sangat penting dalam hal penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Oleh karenanya, Netralitas ASN termaktub dalam rezim Administratif Pemerintahan yang pengaturannya berada dalam suatu Undang-undang tersendiri yang bersifat khusus (lex spesialis), yakni Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Menilik ketentuan Pasal 2 huruf f Jo Pasal 9 ayat (2) Undang-undang ASN dijelaskan bahwa “Setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun” sedangkan Pasal 9 ayat (2) dijelaskan bahwa “Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik”. Kedua pasal <em>aquo</em> menganut prinsip berkait penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN dilakukan berdasar pada asas netralitas. Dengan kata lain, ASN tidak boleh berpihak dan tidak terpengaruh pada kepentingan tertentu. Selain itu, <em>ius operatum</em> nya juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 Tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS (PP 42/2004) dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin PNS (PP 53/2010). Jika menilik ketentuan PP 42/2004 akan ditemukan beberapa poin krusial berkait larangan PNS dalam kegiatan politik praktis, diantaranya: Melakukan pendekatan kepada Partai Politik terkait rencana pengusulan dirinya atau orang lain sebagai bakal calon. Mendeklarasikan dirinya sebagai bakal calon. Menghadiri deklarasi bakal pasangan calon, dengan atau tanpa atribut. Berfoto dengan pasangan calon. Memasang spanduk/baliho yang mempromosikan dirinya atau orang lain. Mengunggah foto atau menanggapi (<em>like, share</em>, komentar, dan sejenisnya) semua hal yang terkait dengan pasangan calon di media online dan media sosial. Menjadi pembicara/narasumber pada kegiatan pertemuan parpol. Sedangkan dalam ketentuan Pasal 4 ayat (15) PP 53/2010 ditentukan bahwa PNS dilarang memberikan dukungan kepada Calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon kepala daerah/wakil kepala daerah. Menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye. Membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan sala satu pasangan calon selama masa kampanye. Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga dan masyarakat. Dalam kaitannya dengan netralitas ASN, maka <em>Good Governance</em> dapat terealisir jika memiliki aparatur pemerintah yang tidak memihak dan profesional. Pandangan tersebut sesuai dengan pameo “<em>not the man but the man behind the gun</em>”. Kemerdekaan ASN dalam berinovasi dan meningkatkan profesionalitasnya harus didukung. Salah satunya dengan penegakan etik netralitas ini. Netralitas ASN berada pada rezim Administrasi Pemerintahan yang secara khusus diatur dalam Undang-undang tersendiri, maka semua penormaan berkait netralitas ASN yang ada diluar UU Nomor 5 Tahun 2014 seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada. Mutatis Mutandis merujuk pada penormaan netralitas ASN yang ada di UU Nomor 5 Tahun 2014. Jika dibandingkan dengan UU Pemilu maupun UU Pilkada, ditemukan perbedaan yakni dari sisi penerapan sanksi. Pelanggaran netralitas ASN dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 dikenakan sanksi hanya sebatas sanksi administratif, sedangkan dalam UU Pemilu pun Pilkada mengandung dua jenis sanksi yaitu sanksi administratif dan sanksi pidana. Menukil ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu ditemukan sedikitnya ada 4 Pasal yang mengatur tentang larangan dan sanksi keterlibatan ASN dalam politik praktis, yakni : Pasal 280 ayat (2) huruf f, g dan h Pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan kampanye Pemilu dilarang mengikutsertakan ASN, Anggota TNI, Polri, Kades, Perangkat Desa. Pelanggaran atas ketentuan tersebut dikenakan sanksi 2 Tahun penjara dan denda 24 juta sebagaimana disebutkan dalam Pasal 521. Pasal 280 ayat (3) setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ASN, Anggota TNI dan Polri dilarang ikut serta sebagai pelaksana dan tim kampanye Pemilu”. Pelanggaran atas larangan aquo merupakan perbuatan pidana yang diancam dengan pidana penjara selama 1 (satu) Tahun dan denda 12 juta rupiah, sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Pasal 494. Pasal 282 Pejabat Negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye disebutkan dalam Pasal 490 khusus bagi kepala desa yang melanggar dipidana dengan pidana penjara selama 1 tahun dan denda paling banyak 12 juta rupiah sedangkan khusus pejabat dikonstruksi kedalam Pasal 547. Pasal 283 ayat (1) Pejabat Negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil Negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, dan sesudah masa kampanye. Selanjutnya di ayat (2) dijelaskan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada aparatur sipil Negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga dan masyarakat. Pelanggaran atas ketentuan Pasal 282 dan Pasal 283 ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana yang diancam dengan penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak 36 juta sebagaimana dimaksud Pasal 547. Sedangkan dalam Undang-undang Pilkada, sedikitnya hanya ada 2 (dua) Pasal yang mengatur tentang Netralitas ASN, yaitu :Pasal 70 ayat (1) Dalam Kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan Apartur Sipil Negara, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Anggota Tentara Nasional Indonesia. Pelanggaran atas ketentuan tersebut dikenakan sanksi pidana paling lama 6 (enam) bulan penjara dan denda paling banyak 6 juta rupiah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 189. Pasal 71 ayat (1) Pejabat Negara, pejabat aparatur sipil Negara dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan sala satu calon selama masa kampanye. Pelanggaran atas ketentuan tersebut dikenakan sanksi pidan paling lama 6 (enam) bulan penjara dan denda paling banyak 6 juta rupiah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 188. Subjek hukum yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 70 di atas hanya sebatas Pasangan calon, sedangkan Pasal 71 ayat (1) subjek hukumnya adalah pejabat Negara, pejabat daerah, pejabat ASN dan Kepala Desa. Dalam pengawasan pelanggaran hukum netralitas ASN, Bawaslu mendapat mandat untuk melaksanakan fungsi pengawasan. Perbawaslu Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara, Anggota Tentara Nasional Indonesia dan Anggota Kepolisian Republik Indonesia merupakan acuan dalam menjalankan tugas secara lugas. Tugas Bawaslu ini pun mendapat bantuan dari pihak pengawas <em>Ad Hoc</em> (sementara) seperti Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/desa serta pengawas TPS. Dalam Perbawaslu Nomor 6 Tahun 2018 disampaikan cara hingga rekomendasi yang bisa diberikan Bawaslu ketika menemukan dugaan pelanggaran netralitas dilingkungan ASN, TNI maupun Polri. Bawaslu bertugas mengawasi berbagai keputusan atau kegiatan yang menguntungkan bukan menunjukkan keberpihakan pada kontestan tertentu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye. <strong>Penutup</strong> Konsep netralitas ASN adalah memberikan pembatasan dan kepastian akan peran dari ASN dalam pemerintahan. Implikasi pembatasan adalah penegakan hukum yang berorientasi pada jaminan ASN dalam melaksanakan tugas secara professional.(<strong>***)</strong> <strong>Penulis merupakan Praktisi Hukum Sulawesi Tenggara</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://youtu.be/ZLbfS9Vu0qw
Discussion about this post