Senada dengan itu, orator aksi yang juga merupakan mantan anggota DPRD Bombana fraksi Golkar periode 2014-2019 Herianto menegaskan, pihaknya datang di DPRD sebagai tanda bahwa Moronene sedang marah dan tidak baik-baik saja atas penghianatan anggota DPRD yang terhormat.
“Hal pertama yang ingin kami sampaikan bahwa Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 32 cukup memberikan ruang buat masyarakat untuk memelihara budaya dan adat istiadatnya masing-masing. Kenapa Undang undang ini dilahirkan? karena negara kita memiliki ragam suku, etnis, budaya, agama dan lain-lain. Undang-undang ini meyakinkan bahwa suku Moronene juga adalah milik NKRI,” terang Herianto.
Pria yang kerap disapa Too ini pun menyinggung tentang naskah akademik Raperda tentang pelestarian seni dan budaya yang tidak mencantumkan nama suku tersebut di dalam judul Raperda.
“Bombana ini terdiri dari tiga wilayah yakni Rumbia, Poleang dan Tokotua (Kabaena), dan suku Moronene sudah ada jauh sebelum Kabupaten Bombana ini mekar serta menjadi suku tertua di daerah ini. Kami paling menghargai suku lainnya. Kami sangat taat dan patuh pada aturan, tapi kenapa dengan hadirnya naskah akademik itu seolah suku tertua ini mau disamakan dengan para pendatang? Makanya kami meminta agar penetapan judul itu wajib memasukkan nama Moronene dengan tetap memasukkan seni dan budaya suku lainnya di dalam draft Raperda itu,” Herianto memungkas.
Penulis: Muhammad Jamil
Editor: Ridho Achmed
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post