“Putusan MK pada dasarnya bersifat final dan langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh. Selain bersifat final dalam putusan MK mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding) seperti yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi,” ungkapnya.
Dikatakan Marcellus, wacana putusan MK dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak sah dan dapat dibatalkan tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan sulit dilaksanakan. Pasalnya, patut diduga malah akan menciptakan polemik hukum yang baru. MK merupakan lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat.
Menurut Soedikno Mertokusumo dalam tulisannya menyebutkan pada putusan MK berlaku asas res judicata pro veritate habetur bermakna apa yang diputus hakim harus dianggap benar.
Terkait hal itu, Marcellus menegaskan dasar hukum putusan MK yang bersifat final itu adalah UUD RI tahun 1945 yang secara hierarki lebih tinggi daripada UU Kekuasaan Kehakiman. Selain itu juga ada norma hukum antara ketentuan hukum yang lebih tinggi dan lebih rendah.
Jadi, kata dia, putusan MK tersebut tidak dapat dibatalkan atau tidak sah. Sebab putusan MK yang bersifat final yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, tercantum di dalam konstitusi dan secara konsisten diatur di dalam UU MK dan perubahannya serta peraturan pelaksananya.
“Apabila dari sidang MKMK kemudian disimpulkan ada pelanggaran kode etik ataupun tindak pidana oleh para hakim konstitusi, maka hanya akan berdampak pada diri hakim yang bersangkutan, yaitu diberhentikan tidak dengan hormat seperti dituangkan dalam Pasal 23 ayat (2) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,” tegas Marcellus.
Discussion about this post