Secara etik, sedianya ketua MK tidak ikut dalam persidangan perkara. Tetapi dalam kasus ini, ketua MK justru menjadi hakim yang memutus perkara dengan mengabulkan, melalui penambahan frasa.
“Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah,” ungkap Fadli.
Peneliti Pusat Riset Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Amelya Gustina menilai putusan MK tersebut merupakan inkonsistensi penempatan pasal 169 huruf q sebagai kebijakan hukum terbuka.
“Yang mana di dalam putusan sebelumnya berkaitan dengan soal usia ini juga, berkaitan dengan pasal ini juga. Itu mahkamah sudah menyatakan ini kebijakan hukum terbuka yang otomatis menjadi kebijakan para pembentuk undang-undang,” ujarnya.
Sementara itu, hingga laporan ini ditulis, juru bicara MK Enny Nurbaningsih belum menjawab permohonan wawancara.
Sumber: voaindonesia
Editor: Ridho Achmed
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post