<strong>Oleh: Hendry Ch Bangun</strong> Pekan lalu Dewan Pers mengeluarkan imbauan agar lembaga negara, swasta, para kepala sekolah dan kepala desa, untuk tidak melayani permintaan bantuan, termasuk Tunjangan Hari Raya (THR) terkait Idul Fitri 1443 Hijriah. Mendadak sontak ponsel saya dipenuhi dengan pesan kalimat dan suara, ditambah menghubungi langsung, karena memang nama saya menjadi narahubung bersama Ketua Komisi Hukum Agung Dharmajaya. Ada yang mendukung, ini dari unsur pemerintah dan perusahaan, yang selama ini berhubungan dengan wartawan dan media, meskipun meragukan apakah surat edaran itu dipatuhi atau tidak. Mereka berterima kasih karena setidaknya ada dukungan moral untuk menolak permintaan. Ada juga beberapa wartawan yang mendukung karena di daerahnya banyak orang yang mengatasnamakan pekerjaan wartawan tidak segan-segan meminta THR. Tetapi lebih banyak yang menghujat dan memaki, karena menilai Dewan Pers kebablasan ikut mengurusi masalah THR. “Memangnya Dewan Pers menggaji kami, kok seenaknya melarang meminta THR?” “Dewan Pers melanggar HAM karena menghalangi kami memperoleh bantuan untuk THR" ”Apa kalian di Dewan Pers tahu bahwa kami tidak digaji, mengapa harus menghalangi kami mendapat THR" “Dewan Pers sendiri pasti meminta THR, jangan sok bersih” Padahal jelas sekali, THR adalah kewajiban perusahaan pers. Tidak ada urusannya dengan pihak luar. Bukankah pers harus menjaga independensinya dengan tidak menerima apalagi meminta imbalan dari pihak luar? Saya sempat membalas sedikit, karena waktu saya sedang rapat dan tidak punya waktu untuk membalas semua WA dan pesan suara. “Anda wartawan? Sudah baca di UU Pers bahwa wartawan itu harus menaati Kode Etik Jurnalistik, dan bahwa di KEJ jelas disebutkan wartawan tidak boleh meminta imbalan dari narasumber?” Tapi tetap saja mereka ngotot bahwa mereka perlu hidup dan Dewan Pers tidak usah ikut campur terkait urusan permintaan THR karena itu hak mereka. Dalam hati saya bertanya, siapa orang ini. Apakah mereka benar-benar wartawan atau sekadar begundal yang menjadikan wartawan sebagai pekerjaan untuk hidup? Yang tidak menyadari bahwa profesinya memiliki etika yang sudah jelas mengatur landasan moral dalam bertugas? Inilah tantangan terbesar bagi masyarakat pers hari ini. Masih sangat banyak wartawan yang tidak memiliki pemahaman –apalagi menerapkan– tentang kode etik jurnalistik, karena asal rekrut dan tidak menjalani pendidikan. Bagaimana mengharapkan karya jurnalistik bermutu dari mereka, sedangkan hal yang sangat elementer bagi profesinya saja mereka tidak tahu? <strong>***</strong> Sepanjang Maret dan April, saya mengikuti <em>Focus Group Discussion</em> (FGD) di sejumlah provinsi untuk melengkapi hasil wawancara dengan Informan Ahli (IA) dalam rangka Survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP). Temuan di beberapa provinsi menunjukkan akibat dari pandemi yang berkelanjutan –yang membuat banyak media mati atau penurunan pendapatan- terjadi penurunan skor pada indikator Tata Kelola Perusahaan yang Baik dan Etika Pers. Ada pengakuan dari perusahaan pers bahwa mereka terpaksa mengurangi gaji karyawan dan wartawan, ada yang pembayaran ditunda, atau bahkan ada yang melakukan PHK akibat dari kondisi keuangan yang dialami. Tentu agar perusahaan dapat bertahan dan jika dapat bangkit, kelak akan melunasi kekurangan pembayaran. Ada pula pengakuan dari pengurus organisasi wartawan bahwa di lapangan masalah kesejahteraan ini menjadi topik pembicaraan karena melanda sebagian besar kolega mereka. Akibat langsung dari kondisi ini adalah penurunan kesejahteraan wartawan, uang yang dibawa pulang berkurang. Yang diberhentikan banyak yang coba-coba bikin media baru, yang tidak mudah karena berjuang dari bawah. Dalam kondisi tidak pasti itu, godaan amplop dalam berbagai wujudnya, kian kencang, karena berbagai kebutuhan tetap ada. Tidak semua tabah, tidak semua bisa bekerja lurus dan menjaga martabat profesinya. Memang ada program bantuan berupa <em>fellowship</em> dari Satgas Covid, belakangan Kementerian Kominfo, yakni bantuan bagi wartawan yang menulis pemberitaan tentang Covid-19 dan topik lain dan sebagai imbalan mereka diberi beberapa juta rupiah perbulan. Tapi jumlahnya hanya ribuan sementara di Indonesia ini jumlah wartawan diperkirakan ada 100.000-an. Keuangan perusaahan pers yang terpuruk dan wartawan yang kehilangan atau mengalami penurunan pendapatan menjadi hambatan nyata untuk menjaga kemerdekaan pers di hampir seluruh provinsi di Tanah Air. Dari temuan sementara survei IKP di sejumlah daerah, skor pelanggaran etika menurun, skor akurat dan berimbang merosot, nilai tata kelola perusahaan yang baik juga ikut melandai. Begitu pun independensi dari kelompok kepentingan kuat. <strong>***</strong> Kembali ke soal imbauan yang dikeluarkan Dewan Pers saban tahun, kita perlu merenung kembali tentang Undang-Undang Pers Nomor 40/1999 yang sering disebut terlalu liberal makin banyak dampak negatifnya. Siapa pun dapat menjadi wartawan tanpa ada syarat khusus berupa tingkat pendidikan dan pelatihan sebelum menjalankan profesinya seperti profesi dokter dan pengacara. Hari ini dapat kartu pers, hari ini pula dia langsung meliput. Bisa dibayangkan bagaimana perilaku mereka di lapangan, kalau semula jagoan begitulah cara dia mendekati narasumber dan menulis berita. Kalau semula LSM begitu cara dia mencari berita. Kalau semula penjaga toko, tukang tambal ban, bisa dibayangkan tingkah lakunya dengan label PERS di bajunya. Rezim perizinan versi Orde Baru yang dimusnahkan dalam reformasi sehingga siapa saja bisa mendirikan usaha pers, ternyata terlalu banyak digerogoti penumpang gelap. Jumlah media yang terus tumbuh menjadi tidak masuk akal dan jauh dari hitungan skala ekonomi di level kabupaten kota ataupun provinsi, sehingga upaya bertahan, <em>survival off the fittest</em> dilakukan dengan ugal-ugalan. Lihatlah betapa banyak media online jungkir balik dengan judul-judul sensasional, melanggar SARA, cabul, untuk mendapatkan klik bait. Lihat pula media partisan yang hantam kromo, yang penting beda, padahal beritanya memecah belah bangsanya sendiri. Tugas Dewan Pers semakin berat ke depan karena tantangan yang semakin besar pula baik dari eksternal maupun internal. Apalagi di tengah pekerjaan itu ada upaya mendongkel tugas dan fungsi Dewan Pers di UU Pers melalui Uji Materi di Mahkamah Konstitusi, yang justru diajukan mereka yang menyebut dirinya wartawan. Saya lalu ingat lagu lama Doris Day, Que Sera Sera, yang dulu sering diputar di TVRI, ketika stasiun itu masih menjadi satu-satunya tempat masyarakat menonton televisi. Pesan utama dari lirik lagu itu adalah, nggak usah terlalu pusing memikirkan apa yang bakal terjadi. Biarlah semuanya berjalan, dan tetaplah bekerja seperti biasa, waktu akan menjawab tantangan yang ada.<strong>(***)</strong> <em>//Que sera, sera/Whatever will be, will be/The future’s not ours to see/Que sera, sera/What will be, will be//.</em> <em>Ciputat, 24 April 2022</em> <strong>Penulis: Wakil Ketua Dewan Pers</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://www.youtube.com/watch?v=oPZj98jH0KQ
Discussion about this post