Selain faktor culture, korupsi juga merupakan persoalan struktur sosial dari sekelompok orang yang memiliki kekuasaan (setidaknya akses kekuasaan) untuk merugikan kelompok yang tidak memiliki kekuasaan. Sehingga memang benar bahwa kejahatan korupsi ini sama halnya dengan yang sering disebutkan oleh “Bang Napi” (tokoh fiksi terkenal dari salah satu stasiun televisi), yaitu muncul karena adanya “niat/kemauan” dan “kesempatan”.
Paling teroganisir dugaan korupsi di sektor kelautan dan perikanan yakni khusus kontrak pembangunan kapal perikanan periode 2014-2019 yang melibatkan koperasi-koperasi fiktif. Pembayaran prestasi pekerjaan dilakukan dengan cara Turn Key yaitu pembayaran dilakukan jika satuan unit kapal telah sampai di lokasi. Namun sampai akhir 2016 dari 754 kapal baru selesai 57 kapal.
Sehingga sesuai syarat-syarat khusus kontrak pembangunan kapal seharusnya dibayarkan hanya untuk 57 kapal senilai Rp15,969 miliar. Sedangkan untuk 697 unit kapal yang tidak selesai seharusnya tidak dapat dibayarkan. Namun pada akhir tahun anggaran ada perubahan ketentuan soal cara pembayaran.
Dari semula Turn Key, menjadi sesuai progress dengan tujuan agar kapal belum selesai dikerjakan, pembayaran dapat dilakukan. Sehingga untuk 697 unit kapal yang belum selesai dikerjakan tetap dibayarkan sesuai nilai kontrak secara keseluruhan sebesar Rp193,797 miliar dan untuk sisa pekerjaan yang belum selesai dijamin dengan Garansi Bank.
Mengamati periodesasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 1999-2020 kasus tindak pidana korupsi kian terbuka, sederet fakta tersebut sampai hari ini belum selesai seperti pengadaan mesin kapal, pengadaan kapal perikanan, pengadaan alat tangkap, pengadaan Keramba Jaring Apung (KJA), kasus ekspor benih lobster, kasus pembangunan fasilitas riset piamari dan miamari serta lainnya.
Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami kasus suap izin ekspor lobster. Mestinya tidak berhenti proses hukum pada pelaku utama, namun harus buka peluang penetapan tersangka baru dari pihak swasta atau perusahaan-perusahaan yang mendapat kuota ekspor benih lobster.
Masih daftar rentetan skandal dugaan impor garam 2017 – 2018 yang merugikan keuangan negara dan petambak garam. Dalam kasus lain, seperti Disclaimers laporan keuangan KKP tahun 2014-2019, belum ada peran maksimal Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeriksa siapapun yang terlibat di dalamnya terkait hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan RI, dengan status disclaimer atau tidak menyatakan pendapat (disclaimer of opinion) setelah melalui proses audit yang ketat sehingga ada indikasi dan potensi kerugian negara sangat besar.
Sejumlah dugaan juga, bocornya uang negara, diantaranya izin lokasi AMDAL reklamasi Teluk Benoa, kerjasama Vessel Monitoring System (VMS) kerjasama Yayasan Leonardo D’caprio, penjualan dan bisnis kepiting ilegal, kerang ilegal, lobster ilegal hingga mackdown kapal nelayan yang banyak terjadi kasus skandal. Selain itu, ada juga impor ikan, anggaran bom kapal Ikan di Satgas 115, dan pengadaan alat tangkap nelayan “Gilnet tahun 2016 – 2019.
Beberapa fakta, Kejaksaan Tinggi (Kajati) Aceh memproses kasus Keramba Jaring Apung (KJA) Pangandaran, Sabang, Karimunjawa. Namun, dalam proses penegakan hukum ada unsur ketidakadilan yakni hanya Sabang yang ditindak dengan seluruh bukti yang sudah tersita dalam bentuk barang dan uang yang dikembalikan. Artinya, ketiga tempat proyek Keramba Jaring Apung (KJA) di Pangandaran, Sabang, Karimunjawa satu kesatuan tak bisa dipisahkan. Mestinya penegakan hukum harus berdimensi keadilan dan ditegakkan dalam satu kasus.
Dalam hal ini mestinya penegak hukum Kejaksaan Tinggi Aceh dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil pejabat sebagai saksi dalam perkara tersebut. Jadi selama eksaminasi bahwa penegakan hukum dalam berantas korupsi terhadap kasus proyek Keramba Jaring Apung (KJA) di Pangandaran, Sabang, Karimunjawa masih tebang pilih dan belum berkeadilan.
Mengutip data ICW yang dilansir Lokadata, selama empat tahun terakhir, jumlah kasus korupsi turun drastis, namun kerugian Negara terus membesar. ICW mencatat, kerugian negara melonjak hampir tiga kali lipat dari Rp 3,1 triliun menjadi Rp 8,4 triliun, selama periode 2015-2019. Padahal, selain merugikan keuangan negara, korupsi juga menimbulkan biaya sosial yang turut ditanggung publik. Biaya sosial korupsi meliputi biaya eksplisit yang dikeluarkan negara untuk mencegah dan menangani korupsi, serta biaya implisit yang memperhitungkan dampak yang timbul karena korupsi.
Sehingga upaya penegakan hukum kasus korupsi sektor Kelautan dan Perikanan (KKP) dapat menimbang dan memuaskan rasa keadilan bagi masyarakat perikanan, nelayan, dan pesisir. Penegakan hukum dari sederet skandal kasus butuh sikap extra ordinary untuk fokus lakukan audit, penyelidikan dan penindakan serta penuntutan kasus disetiap sektor kelautan dan perikanan baik dari Kementerian Pusat, Provinsi dan Kabupaten agar bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Lembaga-lembaga penegakan hukum seperti, Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi, Tipikor daerah, Kepolisian, Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus benar-benar usut kasus korupsi yang masih dalam tahapan penyelidikan dan penindakan agar terungkap aktor di balik kasus-kasus yang ada tersebut. Skandal kasus lama pun, perlu ditelisik kembali, jangan biarkan ketidakadilan itu semakin merajalela.
Berharap kedepan, disektor Kelautan dan Perikanan (KP) dapat memberi kontribusi positif untuk pembangunan. Meminta komitmen KPK dan kerja keras Kejaksaan Agung agar terus berupaya selamatkan uang negara (APBN) atas seluruh kasus yang ada untuk diselesaikan. Sebaiknya, penegak hukum agar benar-benar mengusut tuntas seluruh kasus korupsi disektor Kelautan dan Perikanan (KKP) pada kurun waktu 1999-2020.
Mestinya, seluruh penyidik dapat diperhatikan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, maka dapat ditarik beberapa asas yang tercakup di dalamnya yang dapat membedakannya dengan undang-undang tindak pidana lainnya, asas-asas tersebut diantaranya adalah pelakunya adalah setiap orang.
Pidananya bersifat Kumulasi dan Alternatif. Tanpa alasan politisasi peradilan pidana korupsi, maka semua yang bersifat percobaan melakukan Tindak Pidana Korupsi, pembantuan pemufakatan jahat melakukan Tindak Pidana Korupsi sama hukumannya dengan delik yang sudah selesai: “Setiap orang yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana dan keterangan sehingga dapat terjadi tindak pidana korupsi dipidana sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi.”
Mempunyai pidana tambahan selain yang diatur KUHP, misalnya seperti: (1) Perampasan barang bergerak dan barang yang tidak bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, (2) Pembayaran uang ganti rugi yang jumlahnya maksimal dengan harga yang diperoleh dari tindak korupsinya, (3) Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu
Jika terpidana tidak dapat membayar uang pengganti selama 1 bulan setelah putusan maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang.
Maka, semua kasus yang ada di sektor Kelautan dan Perikanan mulai dari berdirinya Kementerian Kelautan dan Perikanan hingga saat ini dapat dilakukan penetapan tersangka dan menguji kembali semua kasus dugaan yang ada sehingga bisa ada titik terang penyelesaian kasus.(***)
Penulis merupakan Pendiri Lembaga Bantuan Hukum Nelayan Indonesia (LBHNI)
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post