Kedua, cacat legislasi. Prosesnya yang kilat dan mengejar target, di akhir masa jabatan DPR dan Presiden, menyebabkan tidak adanya partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dalam proses pembuatan dua RUU tersebut.
“Padahal sudah jelas, MK membatalkan UU Ciptaker karena tidak adanya partisipasi yang bermakna tersebut,” sebut mantan Wamenkumham RI itu.
Ketiga, cacat etika bernegara. Dua RUU kejar tayang di akhir-akhir masa jabatan Presiden dan DPR yang secara etika bernegara seharusnya tidak lagi layak menghasilkan keputusan-keputusan strategis, akan berdampak luas dalam kehidupan berbangsa. Apalagi prosesnya sangat elitis, mengabaikan masukan dan kepentingan publik yang lebih luas.
Keempat, cacat demokrasi. Kedua RUU tersebut, Kementerian Negara dan Wantimpres mempunyai kesamaan karakter, diubah untuk memberikan kesempatan pemerintahan baru lebih mudah membagi portofolio alias posisi dan jabatan kekuasaan (distribution of powers and asset).
Di satu sisi, pembagian kue kekuasaan menguatkan koalisi pemerintahan, namun pada sisi yang lain, mematikan kekuatan oposisi. Padahal tanpa kontrol dan oposisi yang efektif, pemerintahan akan cenderung kolutif dan koruptif.
Discussion about this post