Catatan: Dr. Hamzah Palalloi
ANDAI saja Indonesia memiliki banyak pewarta ala Sarjono di era postmodernisme seperti saat ini, maka (mungkin) wartawan semakin bermartabat di mata banyak orang. Bukan sekadar soal kompetensi dan kemahiran bermedia, tetapi berkait attitude sejatinya sosok pewarta yang bisa menikmati hidup apa adanya.
Sosok Sarjono yang teramat bersahaja, berbanding terbalik dengan kedudukan strategisnya sebagai Ketua PWI Sulawesi Tenggara kurun waktu 6 tahun terakhir ini, plus jabatan sosial lain sebagai ketua Persatuan Olahraga Panahan (Perpani) pada level wilayah yang sama.
Bila (saja) saat ini ia berubah menjadi lebih elitis, hedonis, dan punya pengaruh pada banyak kalangan. Maka tentu itu hal yang wajar dalam pandangan sosial banyak orang. Tetapi, Sarjono yang telah saya kenal cukup lama hanyalah pribadi yang biasa-biasa saja. Ia tetap pribadi sederhana dan terkesan culun – seperti sematan yang melekat pada pribadinya sebagai seorang ‘kopral’ – kendati ia seharusnya lebih pas menyandang atribusi ‘jenderal’ pewarta.
Kurun waktu satu semester ini, saya belum bersua lagi dengannya, kecuali dua bulan lalu ia sempat mengirim pesan WhatsApp menanyakan kondisi Wali Kota Baubau – Pak Tamrin yang saat itu masih terbaring sakit. Saya menangkap pesan verbalnya sebagai bentuk keperihatinan dan naluri humanis yang ia bangun sebagai pimpinan organisasi profesi media. Ia pandai merawat hubungan dengan koleganya.
Discussion about this post