Sarjono mampu mempertahankan attitude genuine yang dimilikinya. Bila mengulik teori psikologi komunikasinya – Aristoteles; tentang bisa dipercayanya seseorang, maka Sarjono punya etos (semangat), phatos (moralitas), dan logos (pengetahuan), plus theos (kealiman). Hal yang saat ini telah memudar di kalangan banyak orang dewasa ini.
Masih berkait sosoknya, Ia mengingatkan saya tentang banyak sosok negarawan di awal bangsa ini didirikan. Semua elite bangsa saat itu hidup dalam kesederhanaan. Sarjono pun begitu, hanya pewarta biasa, bukan pimpinan redaksi juga bukan CEO media.
Satu waktu di Jakarta tahun 2019 pada urusan sejenis (HPN); Sarjono mengajak saya menginap bersama di kawasan Kebon Sirih Jakarta Pusat. Alasannya lebih dekat dengan kantor PWI pusat. Saya pikir akan menginap di hotel berkelas, nyatanya hanya di petakan kos-kosan harian yang sangat murah.
“Menginap di sini saja kita, sesuaikan dengan isi kantong. Sebab kita ini bukan siapa-siapa, toh dari kampung juga. Lagi pula tujuan kita kegiatan HPN bukan menginap di hotel berbintang,” katanya terkekeh.
Saya mengamini, namun membatin bila Sarjono bukan saja sosok sederhana, tetapi ia selalu mampu berdamai dengan keadaan hidupnya. Ia mengajarkan hidup pada kodratnya, dan selalu mampu beradaptasi dengan bentangan yang dihadapinya. Ia selalu humanis pada dirinya dan juga dunia luarnya.Selamat hari Pers, bro!.(***)
Penulis: Kepala Bidang Pos dan Telekomunikasi di Badan Kominfo Kota Baubau
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post