Sebagai politisi dengan latar belakang aktivis, popularitas Budiman kalah dibandingkan Adian Napitupulu, Fadli Zon, Fahri Hamzah, maupun Alm. Desmon Mahesa. Budiman lebih banyak mengurusi persoalan desa serta gagasan besarnya terkait bukit algoritma. Namun karena politik masih berkutat di seputar pembentukan opini melalui layar kaca maupun perangkat media lainnya, Budiman akhirnya kalah.
Sebagai partai demokrasi, PDIP semakin eksklusif karena distorsi pemahaman elit partai. Para pengurus seakan menjadi pemilik partai, sementara anggota tidak diberi hak apapun. Sehingga tokoh sekelas Budiman saja tidak dianggap hanya karena Budiman bukan pengurus partai atau Anggota DPR. Sementara Adian, meski bukan pengurusan partai, namun karena masih Anggota DPR, dan berhasil menempatkan ratusan koleganya sebagai komisaris BUMN, masih tetap mendapat panggung.
Manuver Politik Budiman
PDIP sepertinya hati-hati merespons aksi politik Budiman, berbeda perlakuan seperti FX Rudyatmo, Gibran Rakabuming Raka, dan Effendi MS. Simbolon. Budiman tidak takut sama sekali atas ancaman dari PDIP, hingga pernah meminta agar tidak terlalu lama untuk dipanggil. Budiman yang rutin bertemu Jokowi sangat percaya diri dengan manuver politiknya meski berisiko diberi sanksi pemecatan oleh PDIP.
Manuver politik Budiman mencapai puncak dengan deklarasi relawan Prabowo Budiman (Prabu) di Semarang, Jumat (18/8/2023). Budiman sengaja memilih momentum pasca HUT RI, dan memilih kota yang merupakan kandang Banteng.
Budiman berani melakukan manuver politik sejauh itu pasti karena mendapat dukungan atau setidaknya restu dari Jokowi. Sehingga PDIP pasti akan hati-hati dalam memberi sanksi kepada Budiman yang sudah ditawari opsi mundur atau dipecat dari PDIP.
Discussion about this post