Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan total luas 8,3 juta km persegi, 17.504 pulau, dan 108.000km panjang garis pantai. Dengan kondisi geografis yang luas tersebut tentunya juga menghadirkan banyak potensi sumber daya yang bisa digali dan perlu untuk dijaga kedaulatannya.
Beberapa waktu lalu, sejak tahun 2017, Delegasi Republik Indonesia (Delri) telah berusaha maksimal mendaftarkan 2.590 nama pulau ke UNGEGN (United Nations Group of Experts on Geographical Names) dalam pertemuan ke-30 UNGEGN dan konferensi ke-11 tahun UNCSGN (United Nations Conference on Standardization of Geographical Names) di Markas Besar PBB, New York pada tanggal 7-18 Agustus 2017. Dengan demikian, secara resmi negara berhak memetakkan pulau yang berisi informasi (nama, koordinat dan lokasi) atas berbagai pulau yang telah dibakukan namanya di PBB hingga Juli 2017, yaitu sebanyak 16.056 pulau.
Jumlah Pulau di Indonesia (termasuk pulau besar dan pulau kecil) yang tertera pada Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia adalah 17.508 Pulau, namun adanya masalah effective occupation pada 4 Pulau yaitu Pulau Sipadan, Pulau Ligitan, Pulau Yako dan Pulau Kambing menyebabkan lepasnya kedaulatan terhadap Pulau tersebut. Untuk menghindari hal tersebut terulang kembali maka Pemerintah Republik Indonesia melakukan banyak tindakan dan kegiatan di wilayah perbatasan khususnya di Pulau-pulau Kecil dan Pulau-pulau Kecil Terluar.
Masih ada 1.448 pulau yang memerlukan proses validasi dan verifikasi dimasa mendatang. Dengan perubahan cuaca dan berbagai anomali alam, telah terjadi munculnya sejumlah pulau dan hilangnya pulau karena abrasi dan reklamasi. Karena itu, verifikasi pulau dan penamaan pulau terus dilakukan guna mendapat kepastian geografi Indonesia yang terdapat dalam peta dunia. Indonesia mempunyai 111 Pulau-Pulau Kecil Terluar yang telah ditetapkan dalam Kepres 6/2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar
Pada tahun 2019 lalu, pemerintah mengajukan dua area ke PBB, yaitu segmen di utara Papua pada tahun 2019 dan segmen barat daya Sumatera pada tanggal 28 Desember 2020. Sampai saat ini, total area yurisdiksi landas kontinen yang telah diklaim Indonesia kepada PBB adalah seluas 407.966,6 km2. Indonesia kedepankan kepentingan nasional melalui diplomasi maritim di tingkat multilateral dalam pertahankan dan penambahan wilayah dasar laut Indonesia.
Dokumen tersebut meliputi aspek geografis, uji geologi, data, dan metode serta hasil survey di wilayah terkait. Selanjutnya, Badan PBB untuk Batas Landas Kontinen Commission on the Limits of Continental Shelf (CLCS) belum mengambil keputusan berdasarkan data dan argumen yang di sampaikan Pemerintah. Apabila disetujui, maka menambah wilayah dasar laut Indonesia seluas 211,397.7 km2 atau seluas lebih dari 1.5 kali Pulau Jawa dan memberikan keuntungan yang signifikan bagi Indonesia di bidang ekonomi, penelitian, perhubungan, dan bidang-bidang terkait lainnya.
Sangat penting, bagi Indonesia sebagai negara maritim yang mendaftarkan seluruh kenamaan pulau di PBB bagi negara anggota. Tujuannya, menjaga standar penamaan pulau agar satu pulau tidak memiliki nama yang berbeda-beda sehingga memudahkan warga negara mengenal pulau diseluruh Indonesia. Namun masalahnya, penamaan pulau tidak serta merta diakui PBB karena pendaftaran nama pulau bukan berarti pengakuan kedaulatan PBB terhadap suatu pulau.
Posisi PBB, khususnya UNGEGN sudah jelas, yaitu hanya menetapkan standarisasi penamaan dan tidak memberikan suatu pengakuan kedaulatan atau pengakuan apa pun tentang status hukum suatu pulau tentang jenis, unsur, posisi, lokasi dan nama pulau. Hal ini, pertegas otoritas penamaan pulau secara baku sehingga geografis nasional.
Pengajuan perluasan landas kontinen ini merupakan yang ketiga kalinya dilakukan oleh Indonesia. Sebelumnya pada tahun 2008 untuk wilayah sebelah barat Pulau Sumatera, dan tahun 2019 untuk wilayah sebelah utara Papua. CLCS telah menyetujui pengajuan Indonesia di sebelah barat Pulau Sumatera pada tahun 2011, sehingga Indonesia mendapatkan tambahan area landas kontinen seluas kurang lebih 4,209 km2.
Hal ini, bertujuan untuk wujudkan kedaulatan negara sebagai poros maritim dunia sehingga dapat menopang pilar – pilar kedaulatan, yakni; memastikan integritas wilayah dan memperluas wilayah yurisdiksi; menjaga pertahanan dan keamanan; memastikan keselamatan; mengelola sumber daya terlaksana dengan bertanggung jawab; serta memproyeksikan kepentingan nasional melalui leadership di dunia internasional sehingga perlu perkuat kemampuan data. Indonesia harus mampu menjadi rujukan solusi atas berbagai permasalahan kemaritiman global.
Ekonomi Biru Indonesia
Pasca diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Indian Ocean Rim Association (IORA) di Jakarta tahun 2020, pemerintah Indonesia berupaya menindaklanjuti dengan langkah yang lebih nyata dari KTT IORA dengan menyelenggarakan pertemuan tingkat menteri ke-2 negara-negara anggota IORA tentang konsep ekonomi biru (blue economy) dan perlindungan pelaut. Hal itu dilaksanakan, saat perundingan pembentukan norma internasional terkait keanekaragaman hayati diluar area 200 mil laut di Markas Besar PBB New York beberapa tahun lalu, tepatnya dimulai pada tanggal 28-29 Maret 2017 hingga sekarang ini.
Bagi Indonesia, komitmen menggalang dukungan global dalam manfaatkan potensi kelautan dengan pendekatan keberlanjutan sebagai inti dari konsep ekonomi biru. Sesuai hasil konferensi PBB untuk Pengembangan Berkelanjutan (United Nations Conference on Sustainable Development) di Rio de Janerio pada Juni 2012 lalu, bahwa banyak negara kepulauan dan negara pulau yang gantungkan hidup pada sumberdaya laut dan perikanan.
Saat ini, Indonesia mengalami permasalahan sama, yaitu kenaikan air laut karena pemanasan global, peningkatan kadar asam air laut dan sampah plastik laut. Masalah tersebut, pekerjaan paling lama dan tidak akan menemukan solusi dalam jangka pendek. Sudah pasti sangat lama. Maka, harus ditangani. Karena, ratusan juta penduduk bergantung pada laut untuk mata pencaharian dan ketahanan pangan. Karena itu pendekatan pemanfaatan yang berkelanjutan sangat dibutuhkan karena laut yang sehat memiliki potensi ekonomi sebesar US$ 24 triliun.
Selain menggalang dukungan untuk pengembangan ekonomi biru. Indonesia dituntut memiliki tindakan konkrit untuk mengatasi persoalan kerusakan laut sehingga bisa menuntaskan isu-isu kelautan global. Pengelolaan sumber daya hayati (ikan dan sumber daya genetik lainnya) di laut bebas (high seas) sangat penting. Apalagi, sumber daya migas dan mineral di kawasan dasar laut internasional yang berada di bawah mandat otoritas dasar laut Internasional. Laut bebas ini melingkupi 74% dari luas perairan bumi dan lebih dari 90% masih belum terjelajahi.
Pemerintah harus memiliki peran aktif dalam menyusun instrumen keanekaragaman hayati di luar yurisdiksi nasional dan penyusunan regulasi nasional terkait partisipasi aktif Indonesia di kawasan dasar laut internasional. Indonesia harus menjadi contoh pengelolaan maritim diskala regional dan global. Tentu, agenda utamanya membangun kolaborasi; adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, pembangunan ekonomi biru, penanggulangan sampah plastik di laut, serta tata kelola laut yang baik.
Laut merupakan salah satu bagian bumi yang terdampak paling besar dalam perubahan iklim, namun isu ini tidak banyak disinggung bahkan dalam Perjanjian Paris hanya memuat satu kata tentang laut yaitu “oceans” di bagian preambule saja. Perjanjian Paris merupakan kesepakatan negara-negara anggota Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC). Namun, tidak memiliki cakupan masalah laut dalam batang tubuhnya. Kekurangan ini telah menjadi keprihatinan negara-negara kepulauan dan negara pulau kecil dari sisi hukum internasional.
Discussion about this post