Oleh: Malihah Azizah
Momen Hari Raya Idul Fitri 1443 H menjadi ajang bagi para politikus untuk bersilaturahmi Lebaran. Kegiatan bernuansa politik berbalut silaturahmi mulai dari hari H hingga masa libur lebaran yang dimanfaatkan untuk saling berkunjung.
Meski ada kegiatan yang dinilai tidak bernuansa politik, tetapi ada saja pihak-pihak yang menggunakan simbol-simbol yang mengarah kepada persiapan menuju Pemilu 2024.
Prabowo tercatat melakukan “safari silaturahmi” sejak hari Raya Idul Fitri 1443 H yang jatuh pada tanggal 2 Mei 2022. Silaturahmi dimulai dengan mendatangi Istana Kepresidenan di Yogyakarta untuk bertemu dengan bapak Presiden RI Joko Widodo.
Di hari yang sama Prabowo mengunjungi kediaman Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri. Di sana beliau disambut beberapa tokoh senior PDIP seperti Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan mantan Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo. Selain itu Prabowo juga mengunjungi beberapa tokoh penting lainnya.
Lain halnya dengan Gubernur DKI Jakarta Anis Baswedan. Beberapa kali ia menggelar kegiatan-kegiatan yang mengandung kerumunan publik, tetapi ada pesan politik. Sebut saja mudik gratis DKI Jakarta yang justru dihadiri pemudik dengan baju Anis Baswedan Presiden Indonesia pada akhir April 2022 lalu.
Arif Nurul Iman selaku Analis politik dan Direktur Indo Strategi Research and Consulting menilai fenomena yang muncul merupakan upaya yang berkaitan dengan persiapan Pilpres 2024. Ia menilai aksi tersebut dapat dikategorikan sebagai kerja politik, (tirto.id 9/5/2022).
Pejabat publik dan politisi melakukan safari memanfaatkan momen Lebaran, menyiapkan kontestasi Pemilu 2024. Terlihat semua pihak, pengamat, tokoh masyarakat, dan media turut menyokong perilaku mereka tanpa mempedulikan pengabaian mereka untuk menjalankan tugas mereka melayani publik.
Miris, ditengah banyaknya masalah yang sedang dihadapi rakyat, mereka justru sibuk mempersiapkan diri untuk Pemilu 2024. Mungkin empuknya kursi kekuasaan telah mengikis rasa empatinya terhadap rakyat.
Ah, sudah menjadi rahasia umum perilaku politisi seperti ini di sistem pemerintahan demokrasi, memprioritaskan mempertahankan kursi kekuasaan dan mengabaikan tanggung jawab pelayanan rakyat.
Tentu ini semua terjadi karena rumitnya pemilihan calon pemimpin dalam sistem pemerintahan demokrasi. Bukan hanya rumit tapi juga berbiaya mahal. Sehingga tak jarang pemimpin yang terpilih pun bekerja bukan untuk mengurusi rakyatnya melainkan lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan partainya.
Tak heran jika mereka sibuk mencari dukungan dan membangun citra diri yang baik dimata masyarakat jauh sebelum Pemilu dihelat.
Berbeda halnya dengan pemilihan pemimpin dalam sistem Islam yang mudah. Pengangkatan pemimpin atau khalifah (nashb al-khalîfah), terdapat hal yang baku, yaitu baiat.
Baiat adalah metode satu-satunya untuk mengangkat khalifah. Baiat ini adalah istilah lain untuk akad (kontrak) politik di antara dua pihak: (1) Umat Islam atau para wakil umat yang sering disebut Ahlul Halli wa Aqdi atau Majelis Umat di satu pihak. (2) Seorang kandidat khalifah di pihak lain.
Discussion about this post