Oleh: Wina Armada Sukardi
Salat Subuh di Hotel di Makkah
Melaksanakan ibadah haji, atau lebih populer dikenal dengan istilah naik haji, tentu menjadi dambaan kaum muslim. Memang bagi mereka yang punya kesempatan dan mampu melaksanakannya, naik haji menjadi kewajiban umat Islam. Banyak cerita fantastis dan dramatis bagaimana upaya umat Islam untuk dapat naik haji.
Ada orang, mohon maaf, miskin, tapi begitu gigih menabung seperak demi seperak untuk naik haji. Alhamdullilah akhirnya uangnya cukup juga untuk ongkos haji.
Betapa banyaknya masyarakat Indonesia yang ingin naik haji, kini terpaksa harus mengantri beberapa tahun untuk dapat kesempatan naik haji.
Alhamdullilah hamba ini diberikan keberuntungan oleh Allah. Tahun 2002 hamba diberikan kesempatan naik haji. Tentu saja kesempatan itu tak pernah hamba sia-siakan untuk setiap hari dapat salat di hadapan Kabah, termasuk salat subuh di sana.
Saat itu tahulah hamba bagaimana setiap subuh jemaah haji dari Indonesia berbondong-bondong salat di Masjidil Haram. Tak mudah bagi mereka untuk datang salat subuh di depan Kabah.
Bagi yang tinggal di asrama atau tempat penginapan bertingkat, mereka sudah harus antri bergantian menanti lift sampai dapat giliran turun ke lobi. Ini saja terkadang sudah memakan waktu.
Lantas jarak dari tempat menginap ke Masjidil Haram juga tak dekat. Sebagian jemaah bersama-sama “patungan” menyewa kendaraan kecil mirip “mikrolet,” kalau di Jakarta. Sebagian lagi menyewa bis. Sebagian lainnya sudah dikoordinir oleh travel biro yang mereka gunakan jasanya. Para jemaah itu, menembus subuh untuk mencari keridhoaan Allah.
Hamba kala itu kebetulan memakai jasa travel biro haji Maktour. Agak mahal memang, tapi karena waktu itu hamba belum pernah ke Makkah sama sekali, apalagi naik haji, hamba ini kala itu ingin memperoleh full kenyamanan beribadah.
Maklumlah walaupun hamba pernah membantu menjadi “gost writer” mantan Menteri Kehakiman Ismail Saleh menulis buku “Pengalaman sebagai Amirul Hajj,” sejatinya hamba saat itu masih buta bagaimana realitas naik haji. Jadi, hamba ini, bukan sombong dan ria, memutuskan memilih biro perjalanan haji yang dapat lebih memberikan “kenyamanan.” Kala itu hamba pikir, gak apalah mahal sedikit, toh uang rejeki dari Allah.
Kebetulan hamba ditempatkan di Hotel Inter Countinental. Sebuah hotel yang berseberangan langsung dari Kabah. Lebih beruntung lagi, kamar hamba di hotel itu, langsung pula menghadap ke Kabah. Jika tirai jendela kamar dibuka, subhanallah, langsung nampak Kabah.
Memang letak hotel itu begitu strategis. Keluar dari loby hotel sudah menyambung ke halaman komplek Masjidil Haram. Nikmat mana lagi yang hamba ingkari?
Discussion about this post