Hamba ingat, demikian strategisnya kamar ini, sampai-sampai pada saat itu tokoh agama perempuan kita, almarhumah Tuty Alawiyah, sampai minta izin untuk melihat kamar ini. Begitu dia menyaksikan langsung, betapa kagumnya pemilik pesantren dan sekolah Islam di Jakarta ini. Al Fatihah buat Bu Tuty Alawiyah yang sudah almarhum ini.
Tentu, tentu, hamba sendiri yang baru pertama datang ke Makkah, sekaligus naik haji yang pertama dan satu-satunya kali naik haji, bukan main alang kepalang takjub dan syukurnya.
Salat di depan kabah benar-benar cuma “selangkahan” dari hotel. Keluar dari loby hotel sudah nyambung dengan pekarangan Masjidil Haram. Alhamdullilah.
Waktu itu jemaah lelaki dan perempuan masih diperbolehkan salat di tempat yang sama, belum lagi dipisah seperti sekarang. Jadi hamba ini di sana senantiasa salat bersama dengan istri hamba. Betapa nikmatnya.
Setelah beberapa hari di sana, hamba mendapat informasi, di hotel tempat hamba menginap, ada sebuah ruang khusus yang menghadap ke Kabah. Depan ruang itu terbuat dari full kaca tebal yang dapat melihat ke depan dan bawah. Dengan begitu, dari situ dapat langsung memandang Kabah, dan para jemaah yang ada di sekitarnya.
Hebatnya lagi, suara dari masjid tersambung langsung ke ruangan ini melalui speaker khusus. Jadi, suara muazin dan iman terdengar jelas. Oleh karena itu, tempat ini dianggap sebagai bagian dari masjidil haram. Salat disitu dinilai sama dengan salat di Masjidil Haram.
Hamba menjadi penasaran dan ingin mencobanya seperti apa. Tak sulit mencarinya. Dengan cepat akhirnya hamba sampai juga di tempat tersebut, untuk salat subuh. Kini hamba agak lupa terletak di lantai berapa ruangan ini.
Hamba saat itu barulah faham, rupanya tempat ini menjadi ruangan salat para “bangsawan” dan orang-orang kaya Arab. Dari pakaian, keharuman dan penampilan mereka, jelas sekali mereka kaum the have orang-orang Arab. Orang kaya raya. Ada juga beberapa orang Indonesia salat di situ.
Menurut istri hamba, kaum hawa yang salat di sana, mudah dikenali memakai barang-barang branded. Pakaiannya pun modis. Mereka juga di depan sesama perempuan memperlihatkan penampilan yang dibalut kemewahan. Rupanya inilah sebuah ruang salat yang bagi hamba sangat ekslusif. Dipenuhi jemaah yang wangi dan dikelilingi pemakaian barang mewah.
Dari pelbagai informasi yang hamba dapat, memang ruangan ini umumnya dipakai oleh kalangan kaya raya orang Arab. Tanpa mengurangi keabsahan syarat salat, kalangan ini sekaligus menikmati posisi sosial mereka. Meski begitu ada memang yang salat di situ karena tidak mampu salat berjemaah di bawah. Mereka memiliki keterbatasan fisik atau disabilitas. Kendati mereka juga umumnya termasuk kaum sangat berada.
Manakala waktu salat subuh tiba, benar saja, suara muazin dan imam dari mimbar masjid terdengar langsung di ruangan ini. Dengan begitu, kami melakukan gerakan salat yang sama dalam waktu yang sama, dengan para jemaah lain yang ada langsung di depan Kabah.
Hamba tak menyelisik lebih lanjut ikhwal tempat ini: kapan mulai ada, siapa saja yang biasa datang, dari orang kalangan mana dan atau bangsa mana aja. Juga hamba tidak menindaklanjuti lagi kenapa mereka memilih tempat ini. Perhatian dan fokus kepada ibadah haji, membuat hamba tak sempat menyelisik lebih lanjut, meski “naluri kewartawanan” hamba untuk itu tetap ada.
Mungkin saja mereka yang salat di sana memang sudah beberapa kali naik haji atau sebagai orang Arab mereka sudah biasa melihat dan salat langsung di depan Kabah, sehingga mereka memilih salat di sana, dan seterusnya dan seterusnya.
Discussion about this post