Oleh: Wina Armada Sukardi
Dilema Sedekah kepada Pengemis
Seorang Khotib, setelah salat subuh berjemaah di mesjid, dalam ceramahnya mengatakan, kita diwajibkan untuk menolong membantu anak yatim dan fakir miskin, termasuk pengemis. Menurutnya, doa dari para anak yatim itu makbul, atau besar kemungkinan bakal dikabulkan Allah.
Dia menganjurkan, kalau di lingkungan kita, atau kita tahu, ada anak yatim yang potensinya bagus, tak usah ragu-ragu untuk dijadikan anak asuh. Gak perlu takut kekurangan rejeki, lantaran justru nanti rejeki bakal datang lebih banyak.
Kalau perlu, katanya, tidak perlu jauh-jauh mencarinya. Bantulah lebih dahulu di lingkungan keluarga atau sanak famili. Begitu juga dengan kaum miskin, terlebih para pengemis. Kalau ada uang, berapa aja, berikan saja. Kita tidak boleh “bermuka masem” kalau ada pengemis meminta-minta kepada kita.
Namun Khotib juga mengingatkan, sekarang ini agak susah membedakan mana “pengemis” asli dan “pengemis” palsu, atau “pengemis asli palsunya.”
Dia mengungkapkan, realitas sosial yang sebagian orang mungkin sudah mengetahuinya: “para pengemis” kini sudah ada koordinatornya dan bekerja sistematis serta berjenjang pula. Misal di lampu-lampu merah lalu lintas, di semua bagiannya ada pengemis. Nah, pengemis ini sudah diatur dalam manajemen yang profesional. Ada jam kerjanya. Ada shifnya.
Di setiap sudut jalan di lampu merah itu, ada “pengawas” para pengemis. Mereka
memantau kinerja para pengemis. Setelah jam kerjanya habis, mereka juga mengatur pergantian shift-nya itu.
Para pengawas ini menyediakan pula makanan buat para pengemis yang selesai bekerja. Dan tentu saja mengambil uang hasil kerja mengemis, dan memberikan sedikit bagian buat para pengemisnya.
Kendaraan antar jemput sudah diatur oleh “bos” atasan para pengawas. Jangan salah, baik para pengemis, apalagi “bosnya,” hidup mereka gak susah-susah banget, bahkan ada yang tingkat hidup ekonominya di atas rata-rata.
Bagaimana tidak. Mereka di kampungnya punya rumah permanen. Dari kerangka beton. Ada yang bertingkat pula. Perabot dan dekorasinya juga bukan kaleng-kaleng. Sarana elektronik termasuk yang mutahir. Di garasi ada mobil. Bahkan ada yang dua sekaligus. Lebih hebat lagi, dari mereka ada yang ….punya istri lebih dari satu.
Tak heran, bisa saja mereka ekonominya justru jauh lebih sejahtera ketimbang yang memberi sedekah kepada pengemis. Padahal semua itu hasil dari mengemis. Ya usaha dari mengemis!. Hasil yang luar biasa itu tak terlepas pula dari cara kerjanya mirip mafia. Rapi, penuh tipu daya, dan terkontrol. Pendeknya mereka juga manageble, atau dengan manajemen yang baik.
Belajar dari pengalaman, mereka pun mulai mengenal pendekatan terhadap birokrasi. Jika ada pengemis yang kena razia dan ditangkap polisi “tibum” alias polisi ketertiban umum dari polisi pamong praja, sudah ada “petugas khusus” yang bakal melakukan lobi dan negosiasi dengan pihak Sapol PP dan pihak-pihak terkait lainnya.
Jadi amanlah. Paling kalaupun tertangkap, beberapa hari saja sudah bebas lagi. Para “petugas khusus” sudah mengaturnya. Mereka sangat faham memanfaatkan empati dan dorongan masyarakat untuk menjalankan perintah agama. Walaupun tidak belajar, mereka pun nampaknya “menguasai psikologi sosial” ikhwal belas kasihan naluri kemanusiaan. Maka dibuatlah diri para pengemis menjadi dapat menghasilkan rasa iba.
Ada pengemis yang wajah dan tubuhnya dibuat dekil dan seakan-akan ada luka di sana sini. Itu semua rekayasa. Bohong. Semua buatan. Ada pula pengemis yang membawa-bawa anak. Padahal anak itu bukan anak sendiri, tapi anak sewaan. Seharian si anak atau bahkan bayi disewa antara Rp50 ribu sampai Rp100 ribu.
Lebih hebat, dan sekaligus sadis, anak-anak atau bayi-bayi itu sebelum “dikaryakan” diberikan sejenis obat tidur agar terus teler. Tujuannya untuk semakin membuat masyarakat iba. Para pengemis juga mengeksploitir kecacatan. Mereka menampilkan diri sebagai manusia dengan kaki atau tangan buntung sebelah.
Asumsinya, semakin nampak menderita seorang pengemis, semakin bakal dikasihani oleh masyarakat, dan itu artinya cuan semakin besar. Padahal, sekali lagi, semua itu cuma sandiwara. Kaki dan tangan aslinya tidak buntung sama sekali, tapi “disulap” dengan tipuan sedemikian rupa. Seakan-akan memang benar buntung. Misal dilipat dengan celana berlapis-lapis sedemikian rupa, sehingga kelihatan satu kaki hilang.
Tentu mereka tak ketinggalan belajar “akting.” Para pengemis ini “berakting” ngesot layaknya disabilitas. Mereka juga belajar memakai tongkat untuk berjalan. Dan aktingnya memang menyakinkan, sehingga hati masyarakat banyak yang tersentuh dan memberikan uang. Tidak boleh dilupakan, niat memberikan bantuan juga sering kali membahayakan diri kita sendiri.
Pernah suatu ketika, sepulang dari pertemuan acara keluarga di rumah seorang kakak, hamba pulang malam bersama istri naik mobil. Waktu itu sekitar jam 23.30. Kebetulan yang menyetir mobil istri hamba. Sedangkan hamba sendiri duduk di kursi sebelah. Sandaran kursinya hamba kebelakang kan, sehingga dapat dipakai rebahan. Dari luar, seakan-akan dalam mobil cuma ada istri hamba saja.
Discussion about this post