Sesampai di lampu merah CSW, dari arah Jalan Wolter Monginsidi-Trunojoyo, menuju ke arah RSP, pas di lampu merah dan mobil berhenti, ada seorang pengemis ngesot karena kakinya “buntung.” Dia mendekati mobil kami. Begitu sampai di samping mobil kami, dia berdiri. Istri dan hamba yang dari tadi memperhatikan ya terkejut bukan alang kepalang.
Nampaknya si pengemis gadungan itu siap-siap bakal melakukan kejahatan kepada istri hamba. Dia pikir, perempuan malem-malem, menyetir sendiri, menjadi makanan empuk.
Begitu hamba menegakkan sandaran kursi, dan terlihat olehnya, balik dia yang sangat terkejut bukan alang kepalang. Dia tidak menduga di dalam mobil juga ada lelaki. Tanpa banyak cingcong dia kabur. Dia lupa kakinya tadinya “buntung.”
Penipuan tak hanya dengan cara mengemis. Sering pula memakai institusi sosial seperti yayasan untuk anak yatim atau buat pembangunan masjid. Banyak “kotak amal” dari berbagai yayasan, ternyata hasilnya bukan dipakai untuk tujuan membantu kaum dhuafa atau membangun masjid dan lain-lain, melainkan diambil untuk kepentingan pribadi. Yayasan-yayasan yang disebut sering cuma kedok, bahkan yayasannya tak ada.
Terakhir orang memanfaatkan ketaatan beragama dengan mengikuti perkembangan teknologi. Kiwari kita kalau mau mendonasikan uang kita cukup lewat proses QR dari HP. Praktis.
Eh, belakangan, QR pun dipalsukan. Di masjid-masjid (antara lain masjid Istiqlal dan masjid di Blok M), terminal, bandara dan tempat-tempat umum lain sudah terbukti terpasang QR palsu, QR yang duitnya masuk ke dompet digital pribadi para penipunya.
Ajaran agama untuk memberikan bantuan kepada anak yatim dan fakir miskin, kini menjadi tak sederhana lagi. Niat baik dalam diri kita, belum tentu menghasilkan sesuatu yang baik sesuai keinginan kita, bahkan sebaliknya malah dapat membantu kaum komplotan yang memanipulasi para pengemis palsu.
Sebagian dari kita mungkin ada yang berpendapat, ”Ah, yang penting niat kita baik, selebihnya kalau mereka jahat, itu tanggung jawab mereka masing-masing. dengan Tuhan.”
Sikap ini secara tidak langsung telah membantu kebohongan, dan tentu yang membantu kebohongan tidak dapat dikatakan lagi berniat baik serta harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Selain itu bukankah antara kebaikan dan kebodohan sebenarnya berbeda jauh, baik niat maupun dampaknya.
Barangkali kita perlu memikirkan kalau ingin menolong atau bersedekah kepada para pengemis, di tempat-tempat umum, lebih banyak manfaatnya atau mudaratnya? Kalau memberi bantuan sembarangan kepada para pengemis di jalan, jelas lebih banyak mudaratnya.
Pertama, tujuan membantu kaum miskin tidak tercapai. Kedua, kita membantu kelompok mafia pengemis. Ketiga, dapat membahayakan diri kita sendiri.
Disinilah ada baiknya kita memberikan bantuan, sedekah, amal jariah, apapun namanya, kepada lembaga-lembaga resmi yang sudah jelas kredibilitas dan keberadaanya. Jika tidak langsung saja berikan kepada yang kita tahu benar-benar memang membutuhkan.
Menghadapi hal seperti ini Khotib salat subuh mengingatkan, ”Kalau pun kita tidak mau memberikan bantuan, kita sebaiknya diam saja. Tak usah mengumpat mereka.”
Kita tidak boleh menyuburkan kemalasan dengan memberikan bantuan yang salah arah. Selain itu, bukankah dalam Islam tangan di atas lebih baik ketimbang tangan di bawah?. T a b i k!.
(Bersambung….)
Penulis adalah wartawan dan advokat senior serta Dewan Pakar Pengurus Pusat Muhammadiyah
(Tulisan ini merupakan reportase/opini pribadi)
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post