Jadi amanlah. Paling kalaupun tertangkap, beberapa hari saja sudah bebas lagi. Para “petugas khusus” sudah mengaturnya. Mereka sangat faham memanfaatkan empati dan dorongan masyarakat untuk menjalankan perintah agama. Walaupun tidak belajar, mereka pun nampaknya “menguasai psikologi sosial” ikhwal belas kasihan naluri kemanusiaan. Maka dibuatlah diri para pengemis menjadi dapat menghasilkan rasa iba.
Ada pengemis yang wajah dan tubuhnya dibuat dekil dan seakan-akan ada luka di sana sini. Itu semua rekayasa. Bohong. Semua buatan. Ada pula pengemis yang membawa-bawa anak. Padahal anak itu bukan anak sendiri, tapi anak sewaan. Seharian si anak atau bahkan bayi disewa antara Rp50 ribu sampai Rp100 ribu.
Lebih hebat, dan sekaligus sadis, anak-anak atau bayi-bayi itu sebelum “dikaryakan” diberikan sejenis obat tidur agar terus teler. Tujuannya untuk semakin membuat masyarakat iba. Para pengemis juga mengeksploitir kecacatan. Mereka menampilkan diri sebagai manusia dengan kaki atau tangan buntung sebelah.
Asumsinya, semakin nampak menderita seorang pengemis, semakin bakal dikasihani oleh masyarakat, dan itu artinya cuan semakin besar. Padahal, sekali lagi, semua itu cuma sandiwara. Kaki dan tangan aslinya tidak buntung sama sekali, tapi “disulap” dengan tipuan sedemikian rupa. Seakan-akan memang benar buntung. Misal dilipat dengan celana berlapis-lapis sedemikian rupa, sehingga kelihatan satu kaki hilang.
Tentu mereka tak ketinggalan belajar “akting.” Para pengemis ini “berakting” ngesot layaknya disabilitas. Mereka juga belajar memakai tongkat untuk berjalan. Dan aktingnya memang menyakinkan, sehingga hati masyarakat banyak yang tersentuh dan memberikan uang. Tidak boleh dilupakan, niat memberikan bantuan juga sering kali membahayakan diri kita sendiri.
Pernah suatu ketika, sepulang dari pertemuan acara keluarga di rumah seorang kakak, hamba pulang malam bersama istri naik mobil. Waktu itu sekitar jam 23.30. Kebetulan yang menyetir mobil istri hamba. Sedangkan hamba sendiri duduk di kursi sebelah. Sandaran kursinya hamba kebelakang kan, sehingga dapat dipakai rebahan. Dari luar, seakan-akan dalam mobil cuma ada istri hamba saja.
Sesampai di lampu merah CSW, dari arah Jalan Wolter Monginsidi-Trunojoyo, menuju ke arah RSP, pas di lampu merah dan mobil berhenti, ada seorang pengemis ngesot karena kakinya “buntung.” Dia mendekati mobil kami. Begitu sampai di samping mobil kami, dia berdiri. Istri dan hamba yang dari tadi memperhatikan ya terkejut bukan alang kepalang.
Nampaknya si pengemis gadungan itu siap-siap bakal melakukan kejahatan kepada istri hamba. Dia pikir, perempuan malem-malem, menyetir sendiri, menjadi makanan empuk.
Begitu hamba menegakkan sandaran kursi, dan terlihat olehnya, balik dia yang sangat terkejut bukan alang kepalang. Dia tidak menduga di dalam mobil juga ada lelaki. Tanpa banyak cingcong dia kabur. Dia lupa kakinya tadinya “buntung.”
Penipuan tak hanya dengan cara mengemis. Sering pula memakai institusi sosial seperti yayasan untuk anak yatim atau buat pembangunan masjid. Banyak “kotak amal” dari berbagai yayasan, ternyata hasilnya bukan dipakai untuk tujuan membantu kaum dhuafa atau membangun masjid dan lain-lain, melainkan diambil untuk kepentingan pribadi. Yayasan-yayasan yang disebut sering cuma kedok, bahkan yayasannya tak ada.
Terakhir orang memanfaatkan ketaatan beragama dengan mengikuti perkembangan teknologi. Kiwari kita kalau mau mendonasikan uang kita cukup lewat proses QR dari HP. Praktis.
Eh, belakangan, QR pun dipalsukan. Di masjid-masjid (antara lain masjid Istiqlal dan masjid di Blok M), terminal, bandara dan tempat-tempat umum lain sudah terbukti terpasang QR palsu, QR yang duitnya masuk ke dompet digital pribadi para penipunya.
Ajaran agama untuk memberikan bantuan kepada anak yatim dan fakir miskin, kini menjadi tak sederhana lagi. Niat baik dalam diri kita, belum tentu menghasilkan sesuatu yang baik sesuai keinginan kita, bahkan sebaliknya malah dapat membantu kaum komplotan yang memanipulasi para pengemis palsu.
Discussion about this post