Kita pun perlu merenung, benarkah kita tidak pernah merugikan orang lain? Kita tidak pernah menfitnah orang? Benarkah kita tidak serakah? Tidak tamak? Benarkah kita rela berkorban demi kebaikan? Sudahkah kita berani bersikap adil dan jujur.? Apakah kita berani melawan orang kaya yang batil, ataukah kita justru jadi kaki tangan mereka?
Betulkah kita tidak hanya memikirkan diri sendiri? Bagaimana perhatian sikap kita kepada tetangga? Apakah cuek atau care dan penuh perhatian serta bersilahturahmi dengan mereka? Dan sebagainya, dan sebagainya.
Ada berjuta pertanyaan yang jawabannya dapat menjadi pertimbangan Allah mau menempatkan kita di surga atau di neraka. Siapapun kita, kita tak dapat jumawa, kitalah yang bakal masuk surga. Semuanya otoritas tunggal dari Allah.
Selama Allah belum memanggil pulang kita menghadapNYA, selama itu pula berbagai kemungkinan dapat menggiring kita ke surga atau neraka. Bisa saja dalam sisa hidup kita, sadar atau tidak, kita membuat blunder yang menyebabkan kita yang sebelumnya punya potensi ke surga, menjadi lebih berat condong ke neraka.
Sebaliknya pun dapat terjadi. Dalam sisa hidup kita, ternyata kita membuat berbagai pikiran dan tindakan yang menyebabkan kita yang sebelumnya sudah condong ke arah neraka, akhirnya ditetapkan masuk surga. Segala sesuatunya masih serba mungkin.
Kisah seorang pelacur, yang sudah hampir pasti masuk neraka, tiba-tiba menolong seekor anjing yang kehausan dengan memberikan minum dari sumur memakai sepatunya, dan kemudian disebut membawanya masuk ke surga, dalam kehidupan nyata dan versi yang berlainan dapat pula terjadi pada kita.
Siapa sangka Umar bin Kattab, yang sebelumnya kafir penyembah berhala dan pembenci utama Nabi Muhammad serta sudah berkali-kali berniat membunuh Nabi Muhammad, tiba-tiba setelah mendengar ayat suci Al Quran, mendapat hidayah langsung memeluk Islam.
Belakangan bahkan dia menjadi khalifah atau pimpinan kedua Islam sewafatnya Nabi Muhammad. Umar bin Kattab yang sudah di ujung neraka, terselamatkan menjadi pejuang Islam.
Kita, orang muslim, masih ada kemungkinan mendapat hidayat dalam versi lain. Barangkali hidup kita yang sebelumnya berlumur dosa, dengan hidayat itu dapat masuk surga. Siapa yang faham? Namun sebaliknya, kita yang kelihatan begitu alim, saleh, taat dan tunduk kepada Allah, salat wajib dan sunah tak pernah terlewatkan, sebenarnya ada tindakan kita yang tercela yang tersembunyi yang menghalangi kita ke surga?
Pada salat subuh berjemaah di masjid, kita tidak dapat menilai derajat seseorang di hadapan Allah dari penampilan semata. Kita tidak dapat memandang tinggi rendah orang bakal masuk surga atau neraka dari busana yang dikenakan masing-masing jemaah. Kalau pakaiannya rada belel, butut, berarti dari kalangan ekonomi menengah bawah, kita pikir kemungkinan besar masuk neraka. Belum tentu.
Sebaliknya yang pakaiannya parlente, berarti dari golongan ekonomi menengah atas, bakalan masuk neraka. Juga belum tentu. Kaya atau miskin, semuanya belum tentu masuk surga atau masuk neraka. Begitu pula yang memiliki jabatan tinggi, atau berduit selangit, belum dapat dipastikan masuk surga atau neraka. Sama yang hamba sahaya, pun belum tentu masuk surga atau neraka.
Kita tidak dapat pula menduga-duga seseorang masuk surga hanya dari semata-mata mereka rajin datang salat subuh berjemaah di masjid paling awal, doanya paling merdu, posisinya sebagai imam, bilal, pengurus atau rakyat sahaya. Kita tidak pernah tahu. Maka kita tak boleh pongah. Tak boleh memandang rendah kepada jemaah lain. Penilaian hanya ada di mata Allah.
Discussion about this post