Itu belum termasuk bila bacaan tsb dilagukan, baik dengan langgam murattal maupun mujawwad karena berefek pada nikmatnya di pendengaran yang “menggembirakan sesama saudara muslim”.
Rasulullah menganjurkan:
“Hiasilah Alquran dengan suaramu (yang merdu).”
Pahala kebaikan akan terus bertambah bila kegiatan membaca berada dalam “proses belajar-mengajar”. Menuntut Ilmu atau belajar dan mengamalkan ilmu yang terlibat di dalamnya bergelar “fi sabilillah” dengan imbalan pahala terbaik surga.
Dalam Hadis riwayat Usman dinyatakan: “Sebaik-baik kamu adalah yang belajar Alquran dan mengajarkannya.”
Hasil dari aktivitas membaca Alquran, baik yang menjadi mahir maupun yang masih terbata-bata karena kesulitan, kedua-duanya mendapat tempat yang indah seperti yang dijanjikan Rasulullah:
“Orang yang pandai membaca Alquran, akan memperoleh tempat di surga bersama-sama para Rasul yang mulia lagi baik-baik. Dan orang yang membaca Alquran kurang pandai, membacanya tersentak-sentak dan tampak agak berat lidahnya, ia akan memperoleh dua pahala,” yaitu pahala membaca dan pahala sulitnya belajar. Subhanallah, Allah Maha Pemurah.
Begitulah WA Didin Sirojuddin A.R., dosen dan pendidik yang memiliki pesantren dengan kekhususan kaligrafi di Sukabumi.
Terhadap matematik kuantitatif pahala ini, ada dua penafsiran. Pertama, yang berkeyakinan jumlah pahala tersebut leterlek persis sama dengan angka-angka yang disebut di angka-angka itu. Dalam artian, angka-angka itu merujuk pada arti kongkrit jumlah angka itu. Jika disebut 10 kali, ya harus dihitung 10 kali yang sebenarnya.
Tafsir kedua berpendapat, penyebutan kuantitatif melalui angka-angka tersebut sesungguhnya merupakan simbol atau metafor dari tingkatan-tingkatan pahala. Jadi semacam ukuran superlatif. Jadi bukan dalam artian 10 ya harus dihitung 10, tetapi kadarnya 10 kali lipat dan sebagainya.
Misal kalau disebut jumlahnya “selangit,” tetapi berarti selangit penuh, tapi satu simbol betapa banyaknya. Begitu juga jika disebut seribu bulan, misalnya, bukan berarti tepat seribu bulan, tetapi sesuatu yang jumlahnya dahsyat.
Biarlah para ahli di bidangnya yang menafsirkan. Bagi hamba pendapat kedua-duanya kemungkinan benar karena keduanya saling melengkapi. Satu dalam paparan angka kuantitatif matematik, yang kongkrit, satu lagi menarasikannya. T a b i k!.
(Bersambung….)
Penulis adalah wartawan dan advokat senior serta Dewan Pakar Pengurus Pusat Muhammadiyah
(Tulisan ini merupakan reportase/opini pribadi)
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post