Pemakaian gelar ini terutama ditemukan dalam prasasti-prasasti bahasa Melayu Kuno, Sunda, dan Jawa. Contohnya, legenda Jawa Aji Saka. Nama Aji Saka bermakna “Raja Permulaan”.
Teori kedua, menerangkan gelar haji secara formal berasal dari pemerintah kolonial Belanda. Gelar itu diberikan kepada orang-orang yang baru pulang naik haji. Waktu itu pemerintah kolonial Belanda menduga orang-orang yang baru pulang naik hajilah yang menjadi pelopor nasionalisme perlawanan terhadap pemerintah penjajah Belanda.
Jadi, untuk memudahkan pengawasan orang yang baru pulang haji, oleh penjajah disebutlah mereka Haji. Tak tanggung-tanggung, untuk itu, tahun 1916, penjajah mengeluarkan keputusan Ordonansi Haji, yaitu setiap orang yang pulang dari haji wajib menggunakan gelar haji.
Memang jika disimak, pada sekitar periode itu sejumlah tokoh Islam Indonesia selepas menunaikan ibadah haji mendirikan berbagai organisasi Islam. Tercatat Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam usai ibadah haji pada 1905.
Lantas ada KH Ahmad Dahlan, seusai pulang ibadah haji, mendirikan Muhammadiyah pada 1912. Pada tahun yang sama Oemar Said Tjokroaminoto mendirikan Sarekat juga selepas kembali dari ibadah haji. Ada pula KH Hasyim Asy’ari usai ibadah haji mendirikan Nahdlatul Ulama pada 1926.
Jadi, oleh pemerintah penjajah Belanda, gelar haji lebih merujuk kepada orang-orang yang telah naik haji dan patut diawasi lantaran semangat nasionalismenya.
Teori ketiga menjelaskan, dulu naik haji tidaklah sesederhana kiwari. Selain lama dan harus berpisah dengan keluarga, mereka juga seperti mempertaruhkan nyawa.
Tak hanya berbulan -bulan, mereka sampai dua tiga tahun baru dapat kembali dari menunaikan ibadah haji. Mereka harus pula menembus gelombang ombak yang besar dan berbagai kesulitan lainnya, termasuk mengeluarkan dana yang besar.
Banyak yang melaksanakan ibadah haji sambil belajar atau bekerja di rantau. Mereka juga berinteraksi dengan warga bangsa-bangsa lain yang kebetulan juga sedang menunaikan ibadah haji, secara intens disana.
Kalau kemudian jika sakit dan meninggal saat melaksanakan rukun haji, beritanya waktu itu, sampai ke tanah air masih simpang siur karena komunikasi masih sulit dan orang yang kembali dari haji juga lama. Tak heran, orang yang dulu naik haji, terkadang tidak pulang lagi dan hilang begitu saja.
Oleh lantaran itulah, sebelum naik haji biasanya keluarga yang mau naik haji, pada zaman dulu melaksanakan upacara selamatan. Mereka mendoakan agar segalanya berjalan lancar dan selamat. Maka secara sosiologis, masyarakat yang telah kembali dari menunaikan ibadah haji, diberikan penghormatan dan kedudukan yang tinggi. Mereka ditandai dengan panggilan dan sebutan “Haji.”
Nah, tradisi ini masih terus berlangsung sampai sekarang. Orang yang sudah berhasil melaksanakan rukun Islam kelima, naik haji, status sosialnya diletakan pada tempat yang tinggi. Terhormat. Manifestasinya, mereka ditandai dengan sebutan atau panggilan “Haji.”
Dari uraian ini dapat disimpulkan beberapa hal. Dari aspek keagamaan, ibadah haji merupakan rukun wajib Islam kelima, bagi yang mampu melaksanakannya. Dari sudut ini, haji bukanlah gelar, karena memang tak ada gelar buat itu.
Bagi kalangan ini, secara normatif, haji adalah pelaksanaan ibadah rukun Islam kelima dan bukan gelar bagi seseorang. Tak ada ketentuan yang mengharuskan orang telah menunaikan ibadah haji, diberi gelar “Haji” atau dipanggil “Haji,” mamang.
Apalagi pihak ini menegaskan, arti “Haji” adalah orang yang menjadi tamu Allah ketika menuaikan haji. Jadi, setelah kembali ke tanah air, sudah bukan tamu Allah lagi, sehingga sebutan “Haji” tidak cocok dan tidak relevan sama sekali. Tak heran sebagian ulama dan kaum intelektual keberatan dan menolak adanya panggilan atau sebutan “Haji” kepada seseorang.
Sebaliknya dari aspek sosiologis, dari sudut pandang kebudayaan, penyebutan “Haji,” sudah berjalan lama. Penyebutan gelar “Haji” yang sempat merujuk kepada kaum nasionalisme radikal, telah berubah menjadi sebuah penghargaaan. Sebutan atau panggilan “Haji“ merupakan suatu kehormatan.
Discussion about this post