Ketiga, bahwa hakikat aktivis mahasiswa itu selalu “menjaga jarak” dengan kekuasaan dan selalu memihak pada kelompok yang dianggap “berbeda dengan kekuasaan”. Maka pembelaan HMI Jakarta kepada Rocky Gerung sesuai dengan hakikat aktivis mahasiswa.
Elit politik hanya asyik “bertengkar terkait kue kekuasaan” secara eksklusif. Sementara ruang pertengkaran ide, gagasan hanya diisi oleh Rocky Gerung. Akibatnya aktivis mahasiswa lebih dekat dengan Rocky Gerung.
Keempat, bahwa PDIP tempat berkumpul alumni atau senior aktivis mahasiswa yang terlibat menjatuhkan rezim orde baru termasuk ikut mendorong pembubaran Golkar saat itu. Maka reaksi elit PDIP atas aksi bakar bendera partai oleh aktivis HMI Jakarta berlebihan. PDIP dapat “belajar” dari Golkar yang tidak pernah melaporkan para aktivis mahasiswa, meski menuntut pembubaran Golkar, termasuk membakar bendera Golkar.
Kelima, bahwa aksi “sedikit-sedikit lapor” tidak mencerminkan kematangan dalam demokrasi. Partai sebagai wadah berhimpun “orang-orang kritis” semestinya tangguh dalam menghadapi kritik. PDIP sejatinya menjadikan aksi HMI Jakarta sebagai kritik.
Ekspresi HMI Jakarta sebagai reaksi atas sikap “elit PDIP” yang membangun tembok dan jarak kepada aktivis mahasiswa. Aksi HMI Jakarta sebagai “ekspresi kemarahan” junior kepada para seniornya yang makin ekslusif.
Keenam, bahwa para alumni dan senior aktivis mahasiswa di PDIP pasti mampu menyelesaikan aksi aktivis mahasiswa, HMI Jakarta dengan merangkul, bukan memukul. Pelaporan pembakaran bendera partai ke Polda Metro Jaya sebagai reaksi memukul, bukan merangkul. Maka sebaiknya elit PDIP dengan kepala dingin duduk minum kopi bersama para aktivis mahasiswa berdiskusi tentang Indonesia yang dicita-citakan.
Ketujuh, bahwa ekspresi HMI Jakarta mewakili sikap aktivis mahasiswa secara umum terhadap “kekuasaan partai” yang sangat eksklusif. Peminggiran peran para alumni dan senior aktivis mahasiswa dalam Parpol di Indonesia, salah satunya PDIP, membuat aktivis mahasiswa marah.
Kedelapan, bahwa demokrasi liberal memaksa para aktivis mahasiswa hanya mampu berebut remah-remah kekuasaan menjadi komisaris, komisioner lembaga negara, bukan pemain utama. Parpol lebih mengutamakan elit dengan darah biru dengan isi tas. Maka ekspresi HMI Jakarta adalah kemarahan anak-anak muda yang mimpi dan harapannya dibajak oleh “anak-anak ingusan” yang tidak pernah berbicara tentang rakyat, tetapi menjadi pemimpin Parpol dan kekuasaan politik.
Kornas akan terus mendorong proses demokratisasi sebagai sistem yang dipilih oleh bangsa Indonesia. Sehingga Kornas akan terus menggelorakan semangat gotong royong dalam menjawab tantangan pergumulan masa depan Indonesia.(***)
Penulis adalah Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas), Ketua Bidang Organisasi dan Hukum Pengurus Pusat GMKI 2008-2010
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post