PENASULTRA.ID, BAUBAU - Dahulu, status sosial juga konstruksi hierarki sangat mempengaruhi bagaimana individu dilihat dan dihargai dalam masyarakat. Kini, hal tersebut tidak bisa lagi menjadi argumen. Apalagi untuk menghalangi seseorang dalam partisipasi politik. Ferni (25), warga Kelurahan Lipu, Kecamatan Betoambari, Kota Baubau Sulawesi Tenggara (Sultra) mengaku sempat mendapat penolakan saat pertama kali mengutarakan niatnya untuk menjadi calon anggota legislatif (Caleg) 2024. Penolakan datang dari lingkungannya sendiri. Alasannya sulit ia diterima. Hanya karena usianya dianggap masih terlalu muda. “Saya cuma ingin menjadi tempat untuk berkeluh kesah dan saya ingin dapat mewujudkan apa yang menjadi keluh kesah mereka,” ucap Ferni Caleg di Kota Baubau. Keinginannya yang kuat untuk memajukan daerahnya membuatnya membulatkan tekad untuk berkontestasi dalam pemilihan caleg 2024. ”Meskipun saya dengar hal-hal itu, tapi saya masih tetap beranikan diri untuk maju,” ujarnya. Nyatanya tidak semua warga Lipu yang menolak caleg seperti Ferni. Fudin misalnya. Salah satu pemuda masyarakat Lipu-Katobengke mengaku tidak terlalu mempersoalkan siapa yang akan duduk di kursi parlemen nantinya. Namun, syaratnya saat duduk sebagai anggota DPR, harus memperhatikan dan memperjuangkan keluh kesah masyarakat. ”Siapapun yang duduk di DPR itu yang penting dia perhatikan kita masyarakat di bawah ini. Kalau dia caleg dari dalam Lipu-Katobengke pasti dia tahu apa yang diharapkan masyarakat kami disini,” katanya. Menghapus Stigma Menurut pengamat sosial, Andi Tenri Mahmud, status sosial memang di masyarakat itu selalu masih ada semacam pemilahan. Status itu, kata Tenri, penjelasanya bersifat klasikal. Dalam terminologi keilmuan status sosial itu menunjukkan identitas-identitas yang ditampilkan oleh seorang individu. Basisnya bisa berdasarkan pekerjaannya, bisa berdasarkan status kebangsawanannya dan lain-lain. “Resistensi terhadap stigma sosial sudah mulai membuahkan hasil. Mereka yang dahulu dipandang rendah karena status sosial, tidak boleh menjadi penghalang dalam berpolitik,” kata Andi Tenri. Menurutnya, keterkaitan status sosial di masa pemilu menjadi salah satu masalah yang sering dihadapi. ”Harusnya politik itu kan bersifat universal, apalagi demokrasi. Tapi inikan sulit juga, sulit sekali dipisahkan antara proses-proses politik, apalagi itu ke arah pragmatis dengan status sosial tertentu,” ucapnya. Dalam beberapa kasus tertentu, kata Andi Tenri, paradigma status sosial masyarakat Lipu dan Katobengke sudah mulai terkikis. “Pada masa kerajaan, status sosial seseorang sangat menentukan apakah ia boleh atau tidak boleh menduduki jabatan-jabatan tertentu. Tapi sekarang itu tidak dimungkinkan dan tidak dibolehkan lagi di masa demokrasi saat ini,” terangnya. Dalam pengamatan Andi Tenri, selama kurun waktu 20 tahun terakhir, masyarakat Lipu dan Katobengke sudah mulai tampil bahkan sudah ada keterwakilan mereka menjadi anggota DPR. Hal itu, kata Tenri, menandakan resistensi atau perlawanan wacana status sosial yang dihubungkan dengan politik demokrasi yang dikembangkan. ”Jika status sosial itu masih sering terbawa hingga saat ini, itu tidak bisa dan secara pribadi saya tantang itu. Tidak bisa anda menghalangi seseorang dengan status sosialnya. Itu kan logika yang tidak nyambung dengan demokrasi yang kita kembangkan,” tegasnya. Keterwakilan dan Partisipasi Tingkat kesadaran politik di lingkungan masyarakat Lipu-Katobengke cenderung meningkat. Sejak pemilu 2004 hingga pemilu 2024 yang dibuktikan dengan keterwakilan mereka yang duduk di kursi dewan dan saat ini jumlah caleg yang cukup banyak. “Sejak pemilu 2004 sudah mulai sadar untuk berpolitik. Dibuktikan dengan adanya perwakilan mereka di DPR pada periode 2004-2009,” beber Muhammad Masril Zamhuri, komisioner KPU Kota Baubau. Pada pemilu 2019, kata dia, Kelurahan Lipu dan Katobengke juga sudah memiliki keterwakilan di DPRD Baubau, meski akhirnya terjadi pergantian antar waktu (PAW) lantaran meninggal dunia. Berdasarkan data yang dimiliki Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah wajib pilih di Kelurahan Lipu sekira 4.560 orang yang dibagi dalam 19 tempat pemungutan suara (TPS) dan 6.085 wajib pilih di Kelurahan Katobengke yang terbagi di 25 TPS. Secara keseluruhan, daftar pemilih tetap (DPT) di Kota Baubau berdasarkan data KPU mencapai 108.435 pemilih. Muhammad Masril Zamhuri menjelaskan, partisipasi masyarakat semakin terlihat dengan jumlah calon legislatif dari Kelurahan Lipu dan Katobengke yang mencapai 10 orang. ”Walaupun mereka posisi secara kultur dalam struktur adat masyarakat Buton berada pada golongan bawah, tapi dalam situasi hari ini sudah berbeda. Tingkatan golongan masyarakat ini sudah tidak ada lagi dalam lingkup kita berpolitik dan mereka memiliki hak yang sama hari ini,” pungkasnya. Penulis: RusmanEditor: Ridho Achmed Jangan lewatkan video populer: https://www.youtube.com/watch?v=SHE_5z5oEW8
Discussion about this post