Jika di daerah lain setiap pemilik sawah berhak bekerja dengan waktu sesukanya, di sini berbeda. Mereka selalu menanam dan memanen secara serentak, bahkan tanaman padi yang ditanam juga wajib jenis beras merah saat masa tanam musim hujan.
Saat musim tanam bulan Desember seluruh petani memiliki waktu seminggu untuk masa penanaman. Mereka akan merawat sawahnya hingga Mei ketika padi mulai menguning dan Juni mulai panen.
Jatiluwih yang khas dengan beras merah ini menghasilkan produk dua kali lipat dari beras biasa. Dalam sekali panen petani bisa mendapat 5-6 ton beras merah per hektare. Tinggi tanaman padi yang menghasilkan beras merah sekitar 2 meter, sedangkan padi biasa hanya 1 meter.
Wilayah yang saat ini menjadi salah satu daya tarik wisata Pulau Dewata itu kini terus dikembangkan agar tetap bertahan dengan contohnya mendorong penerapan pertanian organik.
Saat ini baru 5 persen dari ratusan petani yang menerapkan pertanian organik. Persentase yang masih rendah ini karena modal awal membuat pertanian organik tidak sedikit.
Namun, pasar bagi beras organik terbuka lebar, bahkan selisih harga jualnya mencapai Rp10.000 per kilogram dibanding beras biasa.
Apabila Jatiluwih kembali dapat mendobrak kekurangan ini, maka mereka dapat semakin terkenal dan memiliki kekhasan selain karena pengairannya.
Kekayaan Subak Jatiluwih ini telah mengantarkan mereka sebagai salah satu lokasi yang dipilih untuk karyawisata delegasi World Water Forum (WWF) ke-10 yang akan berlangsung 18-25 Mei 2024.
Mengenalkan Subak Jatiluwih
Pengelola Daerah Tujuan Wisata (DTW) Subak Jatiluwih kini mulai merancang kegiatan untuk delegasi yang nanti akan melihat sawah berundak-undak di sana.
Para delegasi, utamanya kepala negara dijadwalkan akan hadir pada Jumat, 24 Mei 2024. Panitia akan menyajikan teh beras merah khas Jatiluwih Tabanan lengkap dengan pentas Tari Metangi dan pertunjukan aktivitas pertanian sehari-hari.
Sejumlah pemandu disiapkan untuk memaparkan budaya pertanian di sana, terutama bagaimana air diatur subak untuk kesejahteraan bersama.
Di sepanjang hamparan sawah terasering, terdapat lintasan joging yang selalu digunakan wisatawan untuk melihat subak lebih dekat. Namun, dalam kunjungan delegasi kali ini pengelola memperkirakan hanya sampai di pinggir jalan sebelum memasuki jalur trek.
Rata-rata dalam sehari 1.000 wisatawan datang ke DTW tersebut untuk menyusuri sawah selama 1-2 jam. Sekitar 85 persen di antara mereka adalah wisatawan mancanegara, terutama Eropa.
Penjajakan pasar wisatawan Subak Jatiluwih belakangan kian melebar dengan mulai masuknya wisatawan dari India, Vietnam, dan Thailand.
Dengan mengenalkan Subak Jatiluwih ke perwakilan negara-negara di dunia, selain dapat menunjukkan budaya bertani juga bisa berbagi pengetahuan soal pemerataan dalam pemanfaatan air. Diharapkan momen tersebut juga akan menjadi pemantik datangnya wisatawan ke Pulau Dewata lebih banyak lagi.
Penulis: Slamet Hadi
Editor: Ridho Achmed
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post