Oleh: Sri Maulia Ningsih, S. Pd
Sebuah pepatah “tak ada rotan akar pun jadi, gas elpiji langka kayu bakar pun jadi”. Adalah tepat untuk menggambarkan kondisi di Desa Wawouso Baru dan Desa Bobolio, Kecamatan Wawonii Selatan, Konawe Kepulauan (Konkep) (Telisik.com, 31/08/22).
Pasalnya belum lama ini mereka kesulitan mendapatkan gas elpiji akibat tidak adanya pasokan gas dari pihak Pertamina setempat yang berdampak pada kesulitan warga dalam mendapatkan pasokan gas elpiji yang dapat mempermudah dalam mengolah makanan.
Alih-alih mendapatkan subsidi dari pemerintah, kalaupun ada maka harga gas elpiji melambung tinggi. Akhirnya para warga di sana justru memanfaatkan kayu bakar di hutan sebagai pengganti gas elpiji yang tak kunjung mereka dapatkan. Ditambah akses jalanan yang rusak menjadi kendala serius untuk memasok gas elpiji tersebut.
Adalah ibu Siti Nahya salah satu warga setempat mengaku sering ke hutan untuk mengambil kayu guna memenuhi kebutuhan memasak. Hal ini dikarenakan rusaknya jalan Desa Wawousu menuju Kecamatan Wawonii Selatan, hingga susahnya mendapat gas elpigi dan itu pun dengan harga mahal.
Selain mahal dan langka mendapatkan gas elpiji 3 kg, warga juga harus ke Ibu Kota Konkep, yakni Langara untuk bisa memiliki gas elpigi.
Atas kelangkaan tersebut, membuat Tokoh Pemuda Konkep, Pandyi menyayangkan sikap Pemda dan DPRD Konkep, yang terkesan diam dan meminta Pemda dan DPR turun tangan usut dan selesaikan masalah ini, mengingat kelangkaan gas LPG sudah sering terjadi.
Terjadinya kelangkaan BBM ataupun gas elpiji sebenarnya tidak hanya karena akses jalan yang rusak, namun diperburuk oleh sistem tata kelola migas yang kurang menguntungkan rakyat.
Jelas kelangkaan migas saat ini membuat tanda tanya besar bagi masyarakat luas bahwa kelangkaan demi kelangkaan yang terjadi seperti minyak goreng beberapa bulan lalu menjadikan masyarakat mempertanyakan apa peran penguasa dalam hal ini?
Bukankah sebagai penguasa seyogianya memikirkan dan mengurus urusan rakyat? Tapi hal ini seakan menegaskan bahwa posisi penguasa hari ini hanya sebagai wasit penengah atas persoalan rakyat, bahkan justru memilih menyerahkan pengelolaannya pada swasta dalam hal ini di pihak asing.
Apakah tak cukup kelangkaan minyak goreng yang sampai banyak pengusaha mikro maupun menengah yang terpaksa gulung tikar? Namun di sisi lain solusi yang ditawarkan para pejabat negara membuat masyarakat mengelus dada.
Misalnya saja kelangkaan minyak rakyat disuruh untuk makan makanan direbus atau terkait cabe yang langka disuruh tanam sendiri. Jawaban dan solusi tersebut justru semakin menunjukkan posisi mereka ada di mana.
Belum lagi, di tengah kehidupan rakyat yang serba sulit, pemerintah tetap ngotot untuk melanjutkan proyek-proyek mercusuar yang sesungguhnya kurang berkaitan langsung dengan kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Seperti proyek jembatan dan terminal-terminal yang kurang tepat guna. Sementara di sisi lain masih banyak jalan rusak yang lebih layak untuk diperbaiki.
Maka wajar jika masyarakat mempertanyakan fungsi penguasa saat ini yang mengharuskan rakyat berswadaya untuk memperoleh kebutuhan hidupnya.
Discussion about this post