Oleh: Nurdianti Jahidin
Istilah “senggol bacok” nampaknya cukup untuk menggambarkan mental generasi hari ini. Melihat banyaknya kasus-kasus kekerasan termasuk tawuran yang dilakukan oleh pelajar diberbagai wilayah.
Baru-baru ini, puluhan pelajar yang berencana melakukan tawuran di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) diamankan polisi, Selasa (5/9/2023) sekitar pukul 17.00 Wita. Saat diamankan, 4 pelajar terciduk membawa senjata tajam (sajam) jenis busur dan arit.
Kanit I Pidum Satreskrim Polresta Kendari, Ipda La Ode Sadi mengatakan bahwa ada 21 orang yang berhasil diamankan di sejumlah lokasi di Kota Kendari yang terdiri atas 20 pelajar dan 1 orang yang sudah tamat sekolah (Kendariinfo, 05/09/2023).
Seakan tidak ada habisnya berbagai peristiwa tawuran di kalangan pelajar membuat kita miris. Dengan senjata tajam, para pelajar itu saling menyerang satu sama lain hingga tidak sedikit yang menjadi korban, bahkan sampai kehilangan nyawa. Layaknya dalam film-film action, para pelajar berperan bak seorang gangster yang saling bunuh seolah nyawa tidak ada lagi harganya.
Masalah Sistemik
Kasus kekerasan seperti tawuran pelajar jika di amati merupakan masalah yang sangat kompleks, sehingga terus berulang hingga saat ini. Banyak hal yang menyebabkan remaja atau pelajar-pelajar hari ini tumbuh menjadi remaja yang arogan bahkan sadis.
Pertama, kurangnya peran keluarga. Anak-anak menjadi arogan karena tidak mendapatkan perhatian yang cukup dalam keluarga. Orang tua sibuk bekerja sehingga anak kurang mendapat pengawasan dan edukasi sejak dini. Apalagi secara instan memberikan gadget untuk anak tanpa pengawasan sehingga anak-anak dapat dengan bebas berselancar di media sosial dan akhirnya mencontoh hal-hal buruk yang menjadi tontonannya.
Selain itu buruknya metode pengasuhan serta orang tua yang sering bertengkar di hadapan anak dapat juga mendorong sang anak menjadi pribadi yang keras dan juga arogan.
Kedua, kurangnya peran masyarakat. Seiring perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat, masyarakat pun terbentuk menjadi masyarakat yang individualis, tidak memiliki kepedulian dengan sesama. Bahkan acuh tak acuh terhadap kondisi lingkungan hari ini. Bahkan parahnya, masyarakat individualis tidak peduli dengan apa yang terjadi pada tetangganya.
Mereka beranggapan ketika terjadi sesuatu dengan tetangganya atau anak tetangganya melakukan kekerasan berupa tawuran, maka mereka tidak akan peduli selama itu tidak mengganggu atau terjadi kepada dirinya atau keluarganya. Mereka hanya sibuk dengan masalahnya sendiri. Sehingga fungsi masyarakat untuk mengawasi lingkungan akhirnya hilang.
Ketiga, kurangnya regulasi tegas dari negara. Negara memiliki peran penting dalam mengatasi segala tindak kekerasan yang terjadi tengah-tengah masyarakat. Negara juga berperan penting dalam membentuk generasi yang baik dan beradab melalui sistem pendidikannya, pengawasan terhadap media, serta hukum yang berlaku. Namun, pada faktanya negara justru terkesan abai dalam memperketat aturan dan peran-perannya dalam menjaga generasi.
Dari sistem pendidikan, negara hanya fokus untuk membentuk generasi pekerja. Fokus pada pelajaran sains dan teknologi saja dan menjadikan pelajaran agama hanya sebagai pelengkap saja. Bahkan dalam mata pelajaran agama, semata hanya diajarkan teori tanpa mendorong siswa untuk menerapkannya.
Alhasil siswa kurang mendapat bekal ilmu agama mulai dari akidah, akhlak, dan hukum syara yang mengatur tingkah laku manusia, sehingga tidak heran jika lahirlah generasi-generasi yang arogan.
Kemudian dari segi media, negara gagal dalam mengawasi generasi. Tidak dapat dipungkiri dengan berkembangnya zaman, teknologi juga semakin berkembang termasuk media, media sosial memiliki banyak sekali dampak positif tetapi juga memiliki banyak dampak negatif.
Akibat kurangnya pengawasan negara terhadap media sehingga setiap orang, anak-anak hingga dewasa bebas mengakses konten-konten dewasa, konten kekerasan, sehingga tidak jarang anak-anak mempraktekkannya. Tontonan di media televisi juga tidak jauh-jauh dari tontonan sampah yang tidak mendidik generasi.
Hukum yang berlaku hari inipun juga tidak dapat memberi efek jera para pelaku kekerasan. Hukum yang berlaku tidak tegas hanya karena pelaku belum berusia 18 tahun maka hanya akan diberikan pembinaan sekadarnya saja, lantas dilepaskan kembali meski mereka telah berbuat kriminal dan melukai orang lain.
Discussion about this post