Pemerintah menduga, MoU tersebut membawa keberuntungan, namun ternyata penguasaan asing terhadap masa depan perikanan Indonesia. Mengapa demikian? MoU tersebut telah jauh masuk kearah pengembangan kerjasama secara teknis bidang perikanan tangkap dan budidaya, teknologi pascapanen, peningkatan pendapatan pascaproduksi dan produk perikanan bernilai tambah, perlindungan keanekaragaman hayati perikanan hingga pendidikan, pelatihan dan penyuluhan perikanan.
Kemudian disepakati juga dibentuk Komisi Bersama untuk menindaklanjuti MoU oleh beberapa Kementerian. Faktanya, regulasi Kepmen No 98 tahun 2021 tentang penangkapan ikan terukur, sala satu syarat teknis kebijakan tersebut, adalah pembentuk tim teknis di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang disebut tim beauty Contest. Tugas pokok dan fungsinya bekerja mencari, memanggil, meminta, menetapkan dan memberi kuota lelang tangkap ikan.
Sekarang mayoritas MoU itu dijalankan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui fasilitas jaminan investasi penangkapan ikan memakai sistem kuota lelang tangkap. Terutama, soal kerjasama dengan asing dalam hal sosialisasi, penangkapan ikan dan penyuluhan perikanan. Dalam susunan kebijakan, sudah bisa diprediksi kedepan, kapal asing akan menjadi raja disemua WPPNRI untuk menangkap ikan.
Menurut data yang bersumber dari Ditjen KSA tahun 2014 bahwa hubungan kerjasama ASEAN, dimulai secara informal pada tahun 1991 dan menjadi mitra wicara penuh ASEAN pada tahun 1996. Kerjasama kemitraan ASEAN meningkat menjadi kerjasama kemitraan strategis pada tahun 2003 hingga 2021 ini, disemua level kebijakan dan regulasi di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Kerjasama yang menonjol adalah ekonomi, maritim, kelautan dan perikanan.
Terbukti, disepakati melalui perjanjian baru pada 3 Maret 2014 secara lebih teknis. Pertemuan pertama Joint Committee on Fisheries Cooperation dengan delegasi investor asing. Dalam pertemuan tersebut, merupakan tindak lanjut dari penandatanganan MoU Perikanan RI dengan investasi maupun pengusaha yang berasal dari negara lain. Titik fokus pada dua agenda pokok yaitu rancangan pengaturan kerjasama penangkapan ikan berbasis kuota dan pengelolaan daerah perikanan terpadu di semua WPPNRI.
Pembahasan isu tersebut dipandang penting guna menyamakan persepsi mengenai penataan kerjasama investasi dan industri perikanan, khususnya terkait hal-hal yang dimasukkan dalam pengaturan pelaksanaan (implementing arrangement) yang dibahas dalam pertemuan Maritime Cooperation Committee pada minggu ketiga Maret 2014 di Jakarta waktu itu dan dilanjutkan pembicara dan kerjasama pemerintah November 2021 pada puncak G20 dan ASEAN tahun 2021 ini. Konsepnya, penangkapan terukur.
Pada dasarnya MoU tersebut bebani Indonesia bahwa memberi izin beroperasinya kapal-kapal penangkap ikan Asing. Namun demikian, Indonesia melihat masih terjadi penyalahgunaan perizinan penangkapan ikan di perairan Indonesia. Salah satunya adalah yang terkait status kapal nelayan. Pemerintah harusnya melakukan pendataan, verifikasi, terhadap perusahaan perikanan Asing yang selama ini menguras kekayaan laut Indonesia melalui banyak MoU, modal minimal 200 miliar.
Para Asing yang memiliki bisnis industri perikanan mengiming-iming agar perikanan tangkap dan sistem pengelolaan ikan secara berkelanjutan, termasuk penggunaan alat tangkap nelayan yang selama ini dilarang. Justru, agenda–agenda pelarangan alat tangkap, penenggelaman kapal dan pergantian alat tangkap merupakan isu dan gerakan susupan asing kedalam kebijakan pemerintah.
Pemerintah Indonesia sebaiknya mengkaji tentang banyaknya peraturan yang terbit tanpa aspek akademis. Apalagi, soal peraturan alih fungsi kapal yang masih layak digunakan oleh nelayan Indonesia. Kapal-kapal yang sudah disita tidak harus ditenggelamkan, tetapi dialihfungsikan. Sebagai contoh, jika kapal yang digunakan sudah berbendera Indonesia maka kapal tersebut hendaknya diawaki oleh anak buah kapal Indonesia, meski kapal tersebut berasal rampasan pencurian ikan. Tidak harus ditenggelamkan.
Untuk itu diusulkan, jika terdapat kapal Asing yang sudah berganti bendera Indonesia maka hendaknya dikeluarkan sertifikasi penghapusan status kenegaraan dan dilabelkan status baru sebagai kapal Indonesia. Jika dilakukan pembiaran terhadap perusahaan Asing yang tidak kredibel tersebut, pada akhirnya akan menimbulkan permasalahan sendiri.
Selanjutnya guna melakukan penataan terhadap perusahaan perikanan Asing yang beroperasi di Indonesia dan kapal-kapal yang digunakan di Indonesia. Maka, sebaiknya kebijakan pemerintah lebih pada akselerasi program mensertifikasi seluruh usaha-usaha perikanan dengan label Indonesia. Karena banyak perusahaan milik Asing merajai laut Indonesia untuk memasok, mencuri hingga menguras sumberdaya laut Indonesia melalui proses tahapan MoU diatas.
Artinya, kedaulatan Indonesia dipandang sebelah mata. Apalagi kebijakan pemerintah cenderung memberi tempat pada banyak perusahaan Asing selama MoU belum dibatalkan, maka hingga kapanpun kedaulatan Indonesia akan dirongrong oleh para pengusaha hitam dan komplotan asing yang mengeruk seluruh kekayaan laut Indonesia.
Akhirnya, dengan segala bentuk apapun MoU diatas, kebijakan penenggelaman kapal, pelarangan alat tangkap sangat membuat nelayan Indonesia tak mampu mendapatkan haknya untuk melaut. Bahkan tak ada upaya untuk melawan kebijakan pemerintah. Sehingga dalam situasi inilah Asing diuntungkan dan nelayan buntung. Selamatkan Indonesia.
Apalagi, fasilitas kebijakan yang menjamin kuota lelang itu bisa di dapatkan oleh pemodal besar. Akankah masa depan Indonesia lebih baik kedepan dalam menyaksikan cengkeraman oligarki lau. Saatnya momentum kebangkitan kedaulatan nasionalisme untuk selamatkan kelautan dan perikanan. Nelayan harus menggugat agar semua regulasi Kementerian Kelautan dan Perikanan dicabut. Apalagi, sudah mendapat delegitimasi konstitusional berupa pembatalan UU Cipta Kerja.(***)
Penulis: Ketua Front Nelayan Indonesia
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post