Alat untuk menenun terbuat dari bambu dan kayu yang berfungsi untuk mengaitkan lungsin (benang yang membujur pada barang tenunan). Di Buteng diperkirakan ada ratusan rumah tangga yang masih melestarikan aktivitas menenun. Selain untuk mempertahankan nilai-nilai tradisi leluhur, rupanya tenunan juga dilakukan sebagai sumber mata pencaharian.
“Istilahnya membantu kebutuhan rumah tangga. Rutinitas inilah yang terus kita lakukan hampir tiap hari apabila ada pesanan dari konsumen untuk pembuatan kain tenun,” kata Wa Thima, penenun dari Kelurahan Lakorua, Kecamatan Mawasangka Tengah (Masteng) beberapa waktu lalu.
Terpisah, Wa Kahama, penenun yang merupakan warga Kelurahan Lakorua, Kecamatan Masteng mengatakan, keterampilan menenun yang dimiliki setidaknya mampu membantu ekonomi keluarga. Apalagi, bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan kain tenun relatif terjangkau. Karena hanya membutuhkan benang tenun dan benang perak atau biasa disebut benang ekstra.
“Untuk kain tenun biasa dijual dengan harga Rp200-Rp300 ribu. Sementara untuk kain tenun bermotif seharga Rp500-Rp800 ribu,” beber Wa Kahama.
Menurutnya, untuk pembuatan kain tenun membutuhkan waktu yang lumayan lama, khususnya untuk pemesanan kain tenun bermotif. Tetapi untuk pemesanan kain tenun biasa hanya memakan waktu tiga sampai empat hari.
“Jadi kain tenun bermotif itu pembuatannya bisa sampai berminggu-minggu, apalagi kalau motif yang digunakan sangat rumit. Disitulah perbedaan harga kain tenun biasa sama yang bermotif,” tutur Wa Kahama.
Senada, penenun asal Kelurahan Lakorua Kecamatan Masteng, Wa Hasini mengatakan, bagi dia yang notabene ibu rumah tangga, ia mampu menghasilkan uang tambahan bagi keluarga.
“Meskipun hasilnya tidak terlalu banyak, akan tetapi kami sangat bersyukur. Paling tidak dalam satu bulan, ada penghasilan kita dapat. Dan semua itu tergantung pesanan dari konsumen. Kalau pesanannya banyak, maka untungnya juga besar,” kata Wa Hasini.
Discussion about this post