Oleh: Sutrisno Pangaribuan
Barangkali kalau orde baru tidak tumbang, reformasi tidak terjadi, maka tidak akan ada pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung. Kehendak sejarah membuat kita mengenal sosok Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ganjar Pranowo.
Wong Solo, Jokowi, pengusaha meubel, kemudian “masuk panggung politik” hingga terpilih menjadi Walikota Solo dua periode. Ganjar Pranowo, Anggota DPR RI “biasa” dua periode, lalu kemudian terpilih menjadi Gubernur Jawa Tengah dua periode, yang kemarin resmi mengakhiri sepuluh (10) tahun masa pelayanannya.
Megawati Soekarnoputri (Mega), putri Sang Proklamator menjadi saksi, korban, sekaligus sutradara, dan aktor sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Mega, memikul beban sejarah yang pahit, pernah “tidak dapat melanjutkan kuliah” padahal beliau anak presiden pertama. Namun, Mega tidak pernah dendam, meskipun para elit mengarahkan telunjuk kepadanya dengan berbagai tuduhan. Mega menunjukkan cinta kasih yang tak terbatas kepada bangsa ini, sebagaimana ditunjukkan bapaknya, Putra Sang Fajar.
Pengalaman sejarah Mega, membuatnya matang dalam memahami denyut nadi bangsa ini. Mega menunjukkan kemauan dan kemampuan “live in” dengan rakyat. Ekspresi Mega lahir dari pengalaman “menangis dan tertawa bersama rakyat”.
Pengenalan atas kehendak rakyatlah kemudian yang mendorong Mega secara yakin menandatangani rekomendasi kepada Jokowi dan Ganjar Pranowo, baik sebagai calon kepala daerah, maupun sebagai calon presiden.
Discussion about this post