Hal senada juga dikatakan Staf Divisi Korupsi Politik, ICW, Yassar Aulia. Ia mengatakan dari lima daerah dan satu di tingkat pusat, temuan yang diperoleh menyebutkan tidak ada satu pun partai politik yang menunjukkan transparansi atas laporan keuangannya sesuai yang diamanatkan undang-undang.
Riset ini, kata Yassar, meminta partai politik memberikan laporan keuangan yang bisa menunjukkan alur neraca, posisi kas, dan audit dari auditor publik, terhadap pengeluaran dari parpol.
“Memang itu mandat dari hukum, Undang-Undang Partai Politik, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik sudah menyaratkan informasi-informasi yang kami minta, itu memang sudah sepatutnya dibuka oleh mereka, bahkan tidak perlu diminta seharusnya dilaporkan secara berkala di website mereka, atau di database-database yang dapat diakses oleh publik,” tutur dia.
Sementara itu, Dosen Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga, Siti Aminah, menyebut tidak terbukanya pengelolaan keuangan partai adalah hal yang wajar. Pasalnya ada banyak sumber keuangan partai yang tidak hanya berasal dari keuangan negara. Sumber keuangan partai politik yang berasal dari sumbangan pihak ketiga, ujarnya, dinilai tidak dapat dipertanggungjawabkan pelaporannya oleh partai politik karena berisiko secara hukum.
Siti Aminah, yang juga Direktur Center for Security and Welfare Studies (CSWS) FISIP Univeristas Airlangga mengatakan akuntabilitas partai politik tidak hanya terkait laporan keuangan yang wajib dibuka dan dilaporkan secara berkala. Namun, juga terkait program partai yang merepresentasikan diri dalam eksekutif maupun legislatif yang mewakili rakyat.
“Partai politik itu sebenarnya menurut saya, kurang paham bahwa partai itu adalah lembaga publik yang dapat alokasi dana atau bantuan dari APBN maupun APBD. Jadi, itu ada kesalahpahaman antara pengurus partai atau elite-elite partai dengan kebijakan atau Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 ini,” katanya.
Discussion about this post