Oleh: Rusdianto Samawa
Dampak perang urat saraf antara kelompok lingkungan dan kelompok kesejahteraan sosial ekonomi di seluruh dunia, membuat peta konflik baru di wilayah pesisir. Terutama masyarakat Bajo dan Bugis sasaran amukan hukum tanpa peradilan yang adil.
Kajian peradilan hukum hanya sebatas lingkungan. Sebab, akibat kerusakannya yang dilakukan oleh kompresor dan diving snorkeling.
Status Indonesia sebagai negara maritim tampaknya tidak menjamin nelayan hidup dengan makmur. Sebuah riset terbaru, menganalisis data Survey Sosio Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2017 menunjukkan nelayan sebagai salah satu profesi paling miskin di Indonesia. Sebanyak 11,34 persen orang di sektor perikanan tergolong miskin, lebih tinggi dibandingkan sektor pelayanan restoran 5,56 persen konstruksi bangunan 9,86 persen, serta pengelolaan sampah 9,62 persen.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya penurunan jumlah rumah tangga perikanan tangkap secara drastis dari Rp 2 juta di tahun 2000 menjadi Rp 966 ribu di 2016. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tapi seluruh dunia.
Pada 2016, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) melaporkan jumlah pekerja perikanan tangkap terus menurun. Jumlah nelayan di Eropa berkurang dari 779 ribu menjadi 413 ribu selama tahun 2000-2014. Tren serupa juga terjadi di Amerika Utara dan Oceania.
Penyebabnya adalah kebijakan yang membatasi penangkapan ikan berlebih (overfishing), serta kemajuan teknologi perikanan yang menggantikan peran nelayan. Beberapa akademisi berpendapat bahwa pendapatan yang rendah, ditambah dengan tantangan cuaca ekstrem di laut dan jarak yang jauh dari keluarga dalam waktu yang lama membuat nelayan menjadi profesi tidak menarik secara global.
Beberapa tahun lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menetapkan Destructive Fishing Practices (DFP) sebagai cara penangkapan ikan yang ilegal dan sangat berbahaya. Kampanye ini ditujukan langsung kepada nelayan penyelam kompresor dan snorkeling. Kampanye tuduhan Destructive Fishing membuat nelayan banyak tertangkap dan rekayasa penangkapan. Berakibat pada pemiskinan keluarga nelayan.
Dari banyaknya populasi nelayan penyelam, pemerintah seolah-olah menutup mata atas kegiatan nelayan penyelam yang selama ini juga menghidupi keluarganya. Pemerintah, bahasa halusnya menyayangkan masih banyak nelayan yang menggunakan cara Destructive Fishing yang dilakukan nelayan penyelam kompresor dan snorkeling untuk menangkap ikan, misalnya di kawasan Takabonerate, Jinato, Makassar, Bone, Sailus Pangkep, Pulau Podang, Pulau Bonto, dan Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan.
Sementara yang lain, Pulau Bungin, Pulau Kaung, Pulau Moyo, Pulau Medang, Pulau Panjang, Teluk Waworada, Labuhan Terujung, Labuhan Jambu, Labuhan Pisang, Pulau Bajo, Pulau Tambora, Pulau Sangiang, Pulau Kaneke, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Tambah lagi Berau, Pontianak, Kepulauan Riau, Kepulauan Kalimantan, Bangka Belitung, hingga Pulau Sumatera serta lainnya.
Bahkan, nelayan penyelam menyebar ke seluruh dunia diantaranya Australia, Norwegia, Fhiliphina, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, China, Amerika hingga negara-negara Asia Tenggara. Populasi nelayan penyelam seluruh dunia puluhan juta kepala keluarga yang menggunakan kompresor dan diving snorkeling.
Kalau sanksi negatif atas tuduhan bius dan sianida diseluruh wilayah ditujukan kepada nelayan kompresor. Maka, tentu sangat merugikan sekali masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai nelayan penyelam kompresor dan snorkeling. Mengenai tuduhan kepada penyelam yang andalkan alat bantu pernapasan dari selang yang terhubung mesin kompresor.
Kemudian di dasar laut, nelayan menyuntikkan cairan bius berupa zat potasium sianida ke jenis ikan karang seperti ikan napoleon dan kerapu, agar ikan lemas dan mudah ditangkap. Hal ini disatu sisi ada benarnya dan sisi lain ada salahnya. Kesalahan tuduhan itu, tentu tidak berdasarkan kajian ilmiah hanya bersifat subjektif atas pertanyaan-pertanyaan yang ada selama ini.
Kalau pertanyaan investigasi ditanyakan kepada kelompok lingkungan, maka memberi jawaban bersifat negatif justifikasi kepada nelayan penyelam; kompresor dan snorkeling. Selama ini penggunaan mesin kompresor sebagai alat bantu pernapasan oleh para nelayan penyelam tidak dibenarkan. Alasan ilkiahnya karena kesehatan terganggu akibat efek negatif, seperti lumpuh, tuli hingga meninggal dunia.
Discussion about this post