Tentu, nelayan kompresor dan snorkeling juga harus menyadari bahwa perlu ada mekanisme pemahaman tentang keselamatan lingkungan, tidak hanya mengejar sosial ekonomi. Lebih penting adalah keselamatan dan kesehatan.
Harus diakui pula, semua penyelaman sudah pasti merasakan hal-hal dampak negatif terhadap kesehatan. Maka, nelayan penyelam mengajukan hipotesis kepada pemerintah agar ada regulasi ceamber yang berbasis diseluruh rumah sakit untuk melayani pemulihan kesehatan bagi nelayan penyelam.
Artinya, praktik penyelaman menggunakan kompresor yang dikatakan berisiko sangat tinggi itu, mestinya bisa diatur melalui regulasi pro pada kehidupan nelayan sehingga tidak tercerabutnya hak-hak kesejahteraan. Lagi pula, regulasi antisipasi kesehatan nelayan bisa dilakukan untuk menghindari kelumpuhan, dekompresi, ketulian dan berbagai hal lain.
Tetapi ironisnya, pemerintah sudah mengetahui dampak buruk tersebut. Namun, masih dianggap sebelah mata oleh pemerintah. Hanya saja, cara penanganannya dengan melarang total. Bukankah setiap masalah ada jalan keluarnya? kalau dihitung populasi nelayan penyelam: kompresor dan snorkeling, mestinya pemerintah mengaturnya dengan regulasi yang pertimbangkan sosial ekonomi kesejahteraan.
View this post on Instagram
Regulasi Ini menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat bagi pemerintah untuk mencari format baru dalam regulasi sehingga tidak menimbulkan kekacauan ditengah masyarakat pesisir. Dengan begitu, skema regulasi yang berkeadilan dan memberdayakan nelayan penyelam, jelas akan tingkatkan pemanfaatan sumber daya laut yang baik pula, yang dijamin oleh regulasi pengawasan yang ketat.
Perlu juga, pemerintah pertimbangkan akan kontribusi besar nelayan penyelam; kompresor dan snorkeling terhadap kegiatan penangkapan untuk pasokan pangan sekitar 17 persen itu. Termasuk di dalamnya kontribusi nelayan penyelam. Apalagi, berkontribusi pada pengurangan angka kemiskinan nasional hingga 25 persen.
Berdasarkan kajian Badan Pusat Statistik (2020) bahwa; produksi ikan mencakup semua hasil penangkapan yang ditangkap dari sumber perikanan alami, baik yang diusahakan oleh perusahaan perikanan maupun rumah tangga perikanan.
Produksi yang dicatat tidak hanya yang dijual saja tetapi termasuk juga yang dikonsumsi oleh rumah tangga atau yang diberikan kepada nelayan/pekerja sebagai upah. Tidak termasuk ikan yang diperoleh dalam rangka olah raga atau rekreasi, juga ikan yang dibuang kembali ke laut setelah ditangkap atau ikan yang dibuang karena terkena racun, pencemaran, atau penyakit.
Volume produksi dihitung dalam bentuk berat basah ikan hasil tangkapan. Kajian BPS ini membenarkan posisi nelayan penyelam; kompresor dan snorkeling, yang selama ini dituduh menggunakan alat pernafasan yang bisa merusak dan alat bius.
Padahal, BPS sudah ungkapkan bahwa; penangkapan ikan adalah kegiatan menangkap atau mengumpulkan ikan yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas dan bukan milik pereorang. Hasil Sensus Penduduk (SP2020) pada September 2020 mencatat jumlah penduduk sebesar 270,20 juta jiwa. Data BPS menunjukkan adanya penurunan jumlah rumah tangga perikanan tangkap secara drastis dari Rp 2 juta di tahun 2000 menjadi Rp 966 ribu di tahun 2016.
Penting Tingkatkan Kesejahteraan
Menurut Prof. Suzy Anna, et al. (2018), dari Faculty of Fisheries and Marine Science, Universitas Padjadjaran, bahwa dalam penelitian, melakukan analisis statistik terhadap status kesejahteraan nelayan yang diwakili oleh data sosioekonomi dari Survei Kehidupan Keluarga Indonesia (IFLS) tahun 2012 dan 2015.
Discussion about this post