PENASULTRAID, KENDARI – Wakil Gubernur (Wagub) Sulawesi Tenggara (Sultra) Hugua menjadi narasumber dalam kegiatan Seminar Nasional dalam rangka Hari Besar Lingkungan Hidup yang diselenggarakan oleh Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Halu Oleo (UHO), Kamis 25 September 2025.
Seminar ini berlangsung di Gedung Sport Center UHO dengan mengusung tema Transformasi Lingkungan Melalui Revitalisasi Pelestarian untuk Sumber Daya Alam Kampus UHO.
Acara tersebut dihadiri oleh Dekan FMIPA, Ketua Jurusan, jajaran dosen, serta mahasiswa dari jurusan Biologi maupun jurusan lainnya yang antusias mengikuti setiap sesi. Selain Wakil Gubernur, hadir pula pemateri lainnya yakni Puspaham selaku anggota Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sultra, Iskandar Wijaya, serta perwakilan dari Dinas Lingkungan Hidup Sultra, Muh. Arfandi.
Dalam pemaparan materinya, Hugua membawakan topik mengenai Praktek Baik Pembangunan Lingkungan Terintegrasi dan Berkelanjutan di Wakatobi. Ia menjelaskan bahwa pembangunan yang memperhatikan aspek lingkungan dapat memberikan dampak luas, tidak hanya pada sektor ekologi, tetapi juga ekonomi dan sosial masyarakat.
Hugua juga menyinggung visi pemerintah pusat dalam menyongsong Indonesia Emas 2045, di mana pada saat itu bangsa Indonesia diperkirakan akan memasuki usia 100 tahun dengan jumlah penduduk mencapai 324 juta jiwa dan menjadi negara dengan penduduk terbesar keenam di dunia.
Menurutnya, sekitar 70 persen dari jumlah tersebut merupakan kelompok usia produktif yang akan memegang peran penting dalam pembangunan, termasuk dalam menjaga kelestarian lingkungan.
“Visi besar Presiden Prabowo Subianto menetapkan delapan Asta Cita, salah satunya yaitu cita ke-8 yang berkaitan dengan lingkungan. Ini mengajarkan kita tentang harmoni dengan alam, sosial, budaya, dan agama. Semua itu merupakan dasar penting dalam menjaga keberlanjutan lingkungan hidup kita,” ungkap Hugua.
Mantan Bupati Wakatobi dua periode itu juga memaparkan tiga komponen penting dalam lingkungan, yakni biotik, abiotik, dan sosial budaya. Menurutnya, mahasiswa biologi tentu memahami bahwa biotik mencakup semua makhluk hidup, mulai dari cacing, serangga, semut hingga manusia, yang semuanya harus dimuliakan.
Abiotik mencakup unsur tak hidup seperti air, tanah, dan bangunan, yang juga perlu dijaga keseimbangannya. Sementara aspek sosial budaya meliputi nilai, tradisi, dan kearifan lokal masyarakat.
“Intinya lingkungan pasti ada tiga, yakni biotik, abiotik, dan sosial budaya. Tantangan kita adalah bagaimana budaya masyarakat bisa memberikan nilai lebih kepada alam semesta. Kalau kita mampu menyeimbangkan ketiganya, maka tata kelola lingkungan akan berjalan dengan baik,” tegas Hugua.
Dalam kesempatan itu, Wakil Gubernur juga menyoroti sejumlah permasalahan lingkungan yang dihadapi, antara lain penggunaan racun dan bom ikan, praktik perdagangan gelap (seperti penyelundupan ke Hongkong), fenomena coral bleaching (pemutihan terumbu karang), hingga pengambilan batu karang secara berlebihan untuk keperluan pembangunan rumah.
Discussion about this post