Selain itu, aparat dituntut pula untuk menghindari tindakan yg melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, melanggar HAM Pasal 24 poin (e). Namun dalam prakteknya seringkali hal-hal ini seperti tidak diindahkan oleh aparat itu sendiri.
Terdapat kewajiban lainnya pula disertai dgn dengan larangan-larangan bagi aparat kepolisian ketika melakukan pengamanan unjuk rasa atau pengendalian massa lainnya. Ketentuan mengenai ini bisa kita dapati dalam Perkap No. 16/2006 yang mengatur tentang pedoman pengendalian massa/ Protap Dalmas.
Pasal 7 ayat (1) Perkap ini tercantum secara jelas larangan bagi aparat melakukan tindakan seperti: bersikap arogan dan terpancing oleh perilaku massa; melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur; membawa peralatan di luar peralatan Dalmas; membawa senjata tajam dan peluru tajam. Bahkan hal insidental seperti memaki-maki pengunjuk rasa atau mengucapkan kata-kata kotor dilarang bagi aparat kepolisian.
Mengenai kewajibannya pada pasal yang sama pada ayat 2. Diantaranya kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia dari setiap orang yang melakukan unjuk rasa; melayani dan mengamankan pengunjuk rasa sesuai ketentuan; melindungi jiwa dan harta benda. Ketentuan mengenai ini bahkan diulang beberapa kali (repetisi) pada pasal dan ayat berikutnya, yaitu pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 21 ayat (1) dan ayat (2).
Terkait unjuk rasa di Kota Kendari, kemudian dibubarkan dengan paksa oleh aparat kepolisian, maka berdasar informasi lapangan yang kami dapatkan disertai kajian atas seluruh rangkaian peraturan sebagaimana di atas, kami menyoroti beberapa hal, namun pada intinya melihat masih adanya tindakan inprosedural aparat ketika melakukan upaya penanganan unjuk rasa.
Pertama, kami melihat tidak adanya upaya persuasif yang dilakukan secara optimal oleh aparat Kepolisian dalam menangani massa, sebaliknya langsung melakukan tindakan paksa begitu saja degan membubarkan massa aksi.
Padahal dalam Protap pengendalian massa (Dalmas) yang berlaku di Polri, upaya persuasif harus selalu didahulukan serta diupayakan seoptimal mungkin dengan cara memaksimalkan peran tim negosiator Polri untuk membangun komunikasi serta negosiasi degan pihak pengunjuk rasa. Tujuannya adalah agar situasi penyampaian pendapat di muka umum tetap berada dalam situasi yang kondusif dan terkendali.
Jika upaya persuasif gagal, dimana massa unjuk rasa tetap tidak tertib dan tidak terkendali meski sudah berusaha dilakukan negosiasi, barulah upaya paksa dimungkinkan untuk dilaksanakan.
Itupun dilakukan setelah diberikan seruan terlebih dahulu kepada massa aksi sebanyak tiga kali berturut-turut berisi himbauan agar tetap menjaga suasana dan tertib dalam melakukan penyampaian pendapat di muka umum. Barulah setelah itu dilakukan upaya paksa berupa penghalauan atau pembubaran massa. Selengkapnya, ketentuan mengenai ini bisa dibaca diantaranya pada pasal 8 dan Pasal 9 Perkap No. 16/2006, Protap Dalmas, bagian tahap pelaksanaan.
Kedua, terkait cara pembubaran massa dengan menggunakan helikopter. Kami coba melihatnya dari dua sisi. Pertama, dari sisi regulasi atau prosedur. Sepanjang kajian kami terhadap peraturan yang ada, khususnya berkaitan dengan prosedur pengamanan unjuk rasa atau pengendalian massa.
Kami tidak menemukan satupun ketentuan mengenai penggunaan peralatan berupa helikopter ataupun kendaraan udara lainnya dengan spesifikasi yang sama dengan itu sebagai bagian peralatan yang boleh digunakan untuk menghalau atau membubarkan massa.
Discussion about this post